Find Us On Social Media :

Terbang Bersama, Gugur Bersama, Ini Asal Muasal Nama Bandara Jogja Adi Sutjipto, Solo Adi Soemarmo dan Malang Abdulrahman Saleh

By Seto Ajinugroho, Rabu, 19 September 2018 | 08:56 WIB

Dari kiri : Adi Soemarmo, Adi Sutjipto dan Abdulrahman Saleh

Grid.ID - Tak bisa dipungkiri, Indonesia selalu menamai jalan raya, bandara dan lain sebagainya yang bersifat untuk khalayak umum dengan nama para Pahlawannya.

Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk menghargai, mengenang dan menghormati jasa-saja para pahlawan Indonesia yang sudah berjuang demi kejayaan Merah Putih.

Seperti halnya dengan tiga nama bandara yang sering kita dengar yakni Jogja Adi Sutjipto, Solo Adi Soemarmo dan Malang Abdulrahman Saleh.

Ketiga bandara itu dinamai dari tiga orang pendiri/ Founding Fathers Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yakni Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara Adi Soemarmo dan Komodor Muda Udara Abdulrahman Saleh.

Baca Juga : Wanita Ini Sengaja Pergi ke Bali Cuma Pengin Cari Buah yang Eksotik Agar Dietnya Lancar

Ketiganya merupakan bagian dari 20 orang penerbang sekolah TALOA Academy of Aeronautics Amerika Serikat yang para kadet udara itulah pendiri AURI.

Pemberian nama ketiganya untuk masing-masing bandara di pulau Jawa itu tak lepas dari peristiwa nahas yang menimpa ketiganya.

Mengutip dari Angkasa : Para Sahabat AURI yang Terlupakan, awal peristiwa nahas ketiganya bermula pada 29 Juli 1947.

Saat itu Adi Soemarmo, Adi Sutjipto dan Abdulrahman Saleh menumpang pesawat Dakota VT-CLA yang hendak menuju Maguwo dari Singapura.

Pesawat tersebut membawa bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya untuk Indonesia.

Pesawat itu dipiloti oleh Alexander Noel Constantine (Australia) dan Co-pilot Roy L.C. Hazlehurst (Inggris).

Baca Juga : Wanita Ini Sengaja Pergi ke Bali Cuma Pengin Cari Buah yang Eksotik Agar Dietnya Lancar

Selain itu turut serta pula seorang teknisi asal India bernama Bidha Ram, Abdul Gani Handonotjokro, atase perdagangan RI di Singapura Zainal Arifin dan istri Constantine.

Saat itu Agresi Militer I Belanda sedang berlangsung.

Maka di daerah pulau Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jogjakarta yang merupakan ibukota Indonesia sedang sengit-sengitnya pertempuran antara tentara Indonesia versus Belanda.

Belanda yang unggul atas penguasaan udara dalam agresi militernya selalu melakukan patroli udara.

Patroli udara semakin ditingkatkan setelah pihak AURI berhasil melakukan pengeboman udara terhadap kedudukan militer Belanda di Semarang, Salatiga dan Ambarawa.

Lantas saat memergoki ada pesawat Dakota hendak menuju Maguwo, pesawat tempur patroli Belanda berjenis P-40 Kitty Hawk yang berasal dari lanud Kalibanteng (sekarang Ahmad Yani) dipiloti oleh Lettu B.J Reusink dan co-pilot Serma W.E. Erkelens langsung tancap gas mengejarnya.

Baca Juga : Dapat Julukan Kota Emas, tapi Inilah Sisi Miris dari Dubai

Tepat diatas langit Bantul, Dakota VT-CLA diperintahkan untuk segera mendarat oleh Kasau Suryadi Suryadarma.

Namun dari kejauhan melaju cepat P-40 Kitty Hawk Belanda tadi.

Sampai dijangkauan serangan, P-40 langsung memberondongkan pelornya ke Dakota.

Akibatnya pesawat Dakota jatuh dan terbakar di Dusun Ngoto, Bantul.

Yang tersisa dari pesawat hanya bagian ekornya saja.

Semua penumpang tewas dalam peristiwa itu kecuali Abdul Gani Handonotjokro.

Untuk menghormati jasa dan perjuangan ketiganya yang gugur besrama maka Adi Soemarmo dijadikan nama bandara di Solo yang sebelumnya bernama Panasan, Adi Sutjipto di Jogja (Maguwo) dan Abdulrahman Saleh di Malang (Lanud Bugis). (Seto Aji/Grid.ID)