Find Us On Social Media :

Ini Bukti Fashion Kerap Jadi Alat Menuntut Kesetaraan Gender dari Masa ke Masa

By Citra Narada Putri, Jumat, 11 Maret 2022 | 22:05 WIB

Fashion dijadikan alat gaungkan kesetaraan gender.

Parapuan.co - Selama ini mungkin orang berpikir bahwa pakaian dikenakan untuk melindungi tubuh dan membuat penampilan jadi lebih menarik.

Namun tahukah Kawan Puan, bahwa sejak ratusan tahun lalu, fashion punya fungsi yang jauh lebih besar dan dalam?

Ternyata fashion telah digunakan oleh perempuan dari masa ke masa sebagai alat feminis untuk menggaungkan kesetaraan gender

Mulai dari mengenakan celana pertama kali untuk melawan maskulinitas, mengenakan pakaian warna tertentu sebagai simbol perlawanan, hingga rambut bob sebagai cara mengekspresikan diri.

Melansir dari PARAPUAN, ini dia bagaimana para perempuan menggunakan fashion sebagai alat menggaungkan kesetaraan.

1800-an: Mengenakan Celana Pertama Kali

Pada tahun 1800-an, perempuan dibebankan untuk harus mengenakan korset yang bisa menunjukkan lekuk tubuh dan rok yang berat serta sangat tidak nyaman, dengan anggapan lebih menarik di mata laki-laki.

Namun di tengah opresi tersebut, Amelia Bloomer, seorang advokat hak-hak perempuan dan editor surat kabar feminis pertama, The Lily, memutuskan untuk mengenakan celana.  

Apa yang dilakukannya Bloomer pun menyebabkan histeria di masyarakat karena dianggap bisa merampas hak laki-laki dan ketidakstabilan identitas gender.

Baca Juga: Mulai Tren Jeans Sustainable Pada Lingkungan, Apa Bedanya dengan Jeans Konvensional?

Sejak saat itu, celana pun menjadi simbol gerakan hak perempuan, karena rok yang panjang telah membuat perempuan direnggut kebebasannya untuk merasa nyaman dan dianggap hanya sebagai objek seksual. 

"Itu (celana) menjadi simbol upaya perempuan untuk berubah. Walaupun ini mendapatkan reaksi negatif karena perempuan dinilai menantang laki-laki dan maskulinitas," ujar Rebecca Arnold, Dosen Senior Sejarah Pakaian di The Courtauld Institute. 

1900-an: Warna Hak Pilih

Kelompok suffragettes, perempuan yang menuntut hak pilih, selain kerap melakukan marching dan protes di jalanan, juga mengidentifikasi diri sebagai feminis di luar demonstrasi dengan cara yang berbeda di tahun 1900-an.

Yaitu mengenakan sesuatu dengan tiga warna simbolis seperti hijau, putih dan ungu. 

Ungu mewakili martabat, putih menunjukkan kemurnian dan hijau berarti harapan.

"Fakta bahwa warna-warna ini masih dapat dikenali sebagai warna Suffragette menunjukkan betapa suksesnya mereka menggunakannya sebagai simbol politik untuk menunjukkan dan mempromosikan tujuan mereka," ujar Arnold lagi.

Para suffragettes kerap menyematkan pita dengan warna-warna tersebut di topi, ikat pinggang, ke mantel hingga kerah pakaian mereka.

Baca Juga: Mau Tampil Colourful dengan Busana Tabrak Warna? Sontek Inspirasinya dari Tantri Namirah

1920-an: Rambut Bob

Simbol feminitas kerap digambarkan dengan perempuan berambut panjang.

Namun simbol tersebut perlahan mulai mengalami perubahan di era 20-an, seperti yang dilaporkan oleh Outlook Magazine di tahun 1922.

Rambut bob bukan hanya digambarkan sebagai cara untuk menghadirkan penampilan baru, tapi juga menyimbolkan sesuatu yang lebih bermakna.

Yaitu melambangkan perkembangan, kewaspadaan, up-to-date, hingga bagian dari ekspresi semangat seorang perempuan. 

Pada era tersebut, perempuan-perempuan berambut bob pun digambarkan sebagai perempuan yang mendambakan kebebasan dan simbol emansipasi. 

Kendati demikian, rambut bob sebagai simbol feminis ini tak serta merta diterima oleh masyarakat.

Banyak perusahaan yang akhirnya memecat perempuan yang tetap bersikeras memangkas rambutnya dengan model bob.

Baca Juga: Tampil Chic dengan 3 Potongan Rambut Bob agar Lebih Bervolume

"Faktanya adalah rambut bob benar-benar membuat orang kesal pada era itu," ujar Victoria Pass, seorang profesor di Universitas Salisbury di Maryland.

Disampaikan oleh Pass bahwa saat itu, memotong rambut pendek, tidak serta merta mengubah perempuan menjadi lebih bebas.

Namun ini menjadi simbol yang kuat untuk perempuan modern, terutama di era pasca Perang Dunia I. 

1930-an: Setelan

Tahun 1930-an adalah momen turning point bagi perempuan karena akhirnya bisa terlibat dalam dunia kerja dan ruang publik.

Hal ini pun membuat Coco Chanel terinspirasi untuk mendesain pakaian yang bisa merepresentasikan kebutuhan perempuan saat itu, yaitu dengan menciptakan pakaian bermodel setelan.  

“Dia (Coco Chanel) mendesain pakaian yang canggih namun tetap elegan, nyaman. Simbol dari ideal ini adalah two piece suit, yang diciptakan Coco dengan mengambil inspirasi langsung dari jas para kekasihnya,” jelas penulis Vogue, Sara Bimbi.

Chanel kerap disebut sebagai rumah mode pertama yang membuat setelan untuk perempuan, namun sebenarnya jenis pakaian tersebut sudah lama dikenakan sebelum akhirnya dibuat dengan versi yang lebih feminin. Meski bukan yang pertama, Chanel turut berkontribusi mengubah status perempuan menjadi lebih berkelas melalui pakaian.

Baca Juga: Dari Chanel Hingga Hermes, Ini Brand Terkenal yang Produksi Skateboard

1960-an: Rok Mini

Sebelumnya, perempuan yang bermartabat kerap dinilai dari cara berpakaian yang anggun, tidak lebih pendek dari lutut.

Namun pada tahun 60-an, banyak perempuan yang pada akhirnya memberontak dengan tuntutan sosial dari masyarakat terhadap bagaimana mereka berpakaian.

Salah satunya seperti yang dilakukan oleh desainer Mary Quant, yang menjadi pelopor dengan mendesain rok mini. 

Menurut Quant, perempuan-perempuan di daerah King's Road lah yang memulai pemberontakkan dengan mengenakan rok mini. 

Sejalan dengan itu, menurut Deirdre Clemente, sejarawan mode Amerika, mengatakan bahwa pada era tersebut, mengenakan rok mini seakan-akan menghidupi jati diri perempuan yang bebas.

Baca Juga: Buat Tampilan Lebih Variatif dengan 7 Rok Serbaguna, Wajib Punya!

1970-an: Wrap Dress

Pada tahun 1974, sosialita Diane von Furstenberg mendesain wrap dress yang terinspirasi dari desain McCardell dan Schiaparelli.

Wrap dress adalah gaun dengan bukaan depan yang dibentuk dengan cara melilitkan satu sisi ke sisi yang lain, serta mengikat ikatan yang melingkari bagian belakang di pinggang, tanpa kancing maupun ritsleting.

Wrap dress ini pun kemudian memadukan style pekerja kantoran namun dengan gaya cocktail yang meriah.

Fashion item ini pun dilihat sebagai simbol kebebasan seksual dan liberasi perempuan, karena dapat dipakai ke kantor dengan mudah atau bahkan untuk tidur, tanpa ada kancing maupun ritsleting. 

Furstenberg pun makin mengukuhkan gagasan bahwa perempuan bebas dengan perannya di tempat kerja maupun kamar tidur.

Itu dia bukti fashion bukan hanya dipakai untuk menunjang penampilan agar terlihat lebih modis, tapi juga digunakan sebagai alat feminis untuk menggaungkan kesetaraan gender. 

(*)

Baca Juga: Tampil Beda saat Perayaan Tahun Baru, Ini 5 Inspirasi Gaya dengan Blazer Dress