Grid.ID - Tindakan debt collector menyita barang milik debitur kerap memicu ketegangan dan bahkan konflik di lapangan. Namun, tahukah Anda bahwa tidak semua penyitaan oleh debt collector sah secara hukum?
Dalam banyak kasus, penyitaan paksa tanpa dasar hukum justru bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Bagaimana bisa?
Hukum Debt Collector Sita Barang Milik Debitur
Dalam praktik penagihan utang oleh penyelenggara pinjaman online (pinjol), tidak jarang ditemukan debt collector yang menyita barang milik debitur secara paksa. Namun, hal ini tidak bisa serta-merta dibenarkan secara hukum.
Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, penyitaan barang milik debitur tanpa putusan pengadilan oleh debt collector termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum. Perbuatan ini melanggar prinsip-prinsip hukum, berdasarkan ahli hukum Mariam Darus Badrulzaman.
Mulai dari bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan, hingga bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Dengan demikian, debitur berhak mengajukan gugatan perdata apabila hartanya disita secara sepihak oleh debt collector tanpa dasar hukum yang sah.
Lebih jauh, debt collector yang mengambil barang debitur secara paksa tanpa kewenangan juga bisa dijerat dengan pasal pidana. Mengutip Hukumonline, Senin (14/4/2025), debt collector tersebut dapat dijerat dengan pasal pidana seperti Pasal 362 KUHP (pencurian) dan Pasal 365 KUHP (pencurian dengan kekerasan).
Dalam KUHP baru yang mulai berlaku pada 2026, tindakan tersebut juga bisa dijerat dengan Pasal 476 dan 479 UU Nomor 1 Tahun 2023. Selain itu, bukan hanya debt collector yang bisa dijerat hukum, tetapi juga penyelenggara pinjol sebagai pemberi kuasa atas tindakan penagihan dapat dikenai tindak pidana turut serta melakukan kejahatan.
Hal ini sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP lama, serta Pasal 20 dan 21 KUHP baru. Dalam konteks hukum pidana modern, perusahaan pinjol sebagai korporasi juga termasuk subjek hukum yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Pasal 103 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10 Tahun 2022, yang menyatakan bahwa penyelenggara pinjol bertanggung jawab penuh atas semua dampak yang ditimbulkan oleh pihak ketiga, dalam hal ini debt collector, dalam proses penagihan utang.
Apabila debt collector melakukan kekerasan atau penyitaan paksa dan pinjol tidak mengambil tanggung jawab atas tindakan tersebut, maka penyelenggara pinjol dapat dikenai sanksi administratif. Sanksi yang dapat diberikan oleh OJK meliputi peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha. Hal ini bertujuan agar pinjol menjaga standar kepatuhan terhadap norma hukum dan etika dalam menagih utang dari debitur.
Baca Juga: Jangan Takut, Begini Cara Lawan Debt Collector Pinjol Ilegal yang Paksa Rebut Aset
Source | : | Kompas.com,Hukumonline.com |
Penulis | : | Mia Della Vita |
Editor | : | Ayu Wulansari K |