Grid.ID - Media sosial kini tak hanya digunakan untuk berbagi momen pribadi atau mempromosikan bisnis, tetapi juga mulai dimanfaatkan oleh debt collector untuk menagih utang. Namun, apakah praktik ini legal menurut hukum Indonesia?
Seiring perkembangan zaman, media sosial telah menjadi sarana komunikasi yang multifungsi. Tidak hanya untuk eksistensi diri dan promosi usaha, media sosial kini juga digunakan untuk hal-hal yang lebih kompleks—termasuk sebagai media penagihan utang oleh debt collector.
Pertanyaannya, apakah tindakan menagih utang melalui media sosial diperbolehkan? Bagaimana implikasi hukumnya?
Dalam praktiknya, menagih utang melalui media sosial kerap kali dilakukan dengan cara memviralkan identitas peminjam, menyebarkan tangkapan layar percakapan utang, hingga memberi pernyataan terbuka yang dapat mencoreng reputasi si pengutang. Padahal, menurut KUHP, tindakan ini bisa berujung pada pelanggaran hukum, khususnya terkait pencemaran nama baik.
Dalam KUHP, sebagaimana dikutip Hukumonline, Selasa (22/4/2025), penghinaan dan pencemaran nama baik diatur dalam BAB XVI Pasal 310 hingga Pasal 321. Tindakan menyebarkan informasi yang merendahkan martabat seseorang secara publik, termasuk di media sosial, bisa dijerat pasal ini.
Bahkan, peraturan lebih tegas dapat ditemukan dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 27 ayat (3). Peraturan tersebut menyebutkan larangan menyebarkan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Namun, hukum memiliki nuansa yang tak bisa disamaratakan. Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 229 Tahun 2021, No. 154 Tahun 2021, dan No. KB/2/VI/2021 menjelaskan bahwa jika unggahan yang dilakukan debt collector berisi fakta atau kenyataan, maka tidak bisa dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Sebaliknya, jika unggahan tersebut mengandung cacian, ejekan, atau kata-kata tidak pantas, maka pelaku bisa dijerat dengan Pasal 315 KUHP tentang penghinaan ringan. Pelaku bisa kena ancaman pidana penjara hingga 4 bulan 2 minggu atau denda maksimal Rp4,5 juta.
Selain aspek pidana, praktik memviralkan utang lewat media sosial juga berisiko dari sisi perdata. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sah perjanjian mencakup sebab yang tidak terlarang.
Karena pencemaran nama baik dilarang oleh undang-undang, maka perjanjian yang melibatkan persetujuan untuk memviralkan utang bisa dianggap batal demi hukum. Hal ini diperkuat oleh Pasal 1337 dan Pasal 1355 KUHPerdata yang menekankan bahwa isi perjanjian tidak boleh melanggar norma atau hukum yang berlaku.
Meskipun memiliki tujuan “membuat malu” agar peminjam segera melunasi utangnya, tindakan debt collector yang menyebarluaskan informasi utang di media sosial bisa berujung pada tuntutan pidana. Oleh karena itu, baik kreditur pribadi maupun debt collector profesional perlu berhati-hati dan tidak sembarangan bertindak di ruang digital.
Baca Juga: Debt Collector Pinjol Apa Saja yang Rajin Datangi Rumah? Catat Daftarnya!
Source | : | Hukumonline.com,KOMPAS.com |
Penulis | : | Mia Della Vita |
Editor | : | Nindya Galuh Aprillia |