Grid.ID - Berikut kronologi kasus Mbah Tupon, lansia buta huruf yang jadi korban mafia tanah di Bantul. Sertifikat tanah beralih tanpa izin.
Kisah menyedihkan menimpa Mbah Tupon (64), seorang lansia yang tidak bisa membaca dan menulis, yang terjerat kasus mafia tanah dan kini terancam kehilangan tempat tinggal serta lahannya. Mbah Tupon dikabarkan bisa kehilangan lahan seluas 1.655 meter persegi beserta sejumlah bangunan rumah.
Tanah dan bangunan miliknya tiba-tiba masuk dalam daftar lelang bank, meskipun Mbah Tupon mengaku tidak pernah melakukan transaksi jual beli. Kisah ini menjadi viral dan mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Bantul serta DPC Gerindra Sleman.
Kronologi kasus Mbah Tupon
Melansir dari Tribunnews.com, perjalanan nasib Mbah Tupon mulai terkuak setelah beliau menceritakan kondisinya kepada Ketua RT 4, Agil Dwi Raharjo. Ia datang meminta bantuan Agil karena rumah serta tanah miliknya tiba-tiba masuk daftar lelang.
"Beliau menyampaikan kalau rumahnya mau dilelang. Padahal, sertifikat dan Mbah Tupon itu tidak pernah melakukan transaksi jual beli tanah," jelasnya.
Dari hasil penelusuran, diketahui bahwa Mbah Tupon sebelumnya memiliki lahan seluas 2.100 meter persegi sejak beberapa tahun silam. Kemudian diketahui, sekitar 298 meter persegi lahan tersebut dijual kepada seseorang yang dikenal sebagai tokoh masyarakat di Bantul.
"Pembayaran transaksi itu dilakukan dengan cara dicicil sesuai kesepakatan bersama antara penjual dan pembeli. Dan hasil dari proses jual beli itu untuk membangun rumah salah satu anak Mbah Tupon," ucap Agil.
Setelah transaksi, Mbah Tupon juga mewakafkan 54 meter persegi tanah untuk gudang RT serta sekitar 90 meter persegi untuk keperluan jalan lingkungan. Setelah proses pemecahan tanah selesai, tersisa 1.655 meter persegi yang masih atas nama Mbah Tupon.
"Karena proses jual beli tadi saya sampaikan masih ada sisa dana. Kemudian, pembeli itu berinisiatif untuk memecah tanah 1.655 meter persegi milik Mbah Tupon untuk pihak waris, yakni anak-anak Mbah Tupon," ungkap Agil.
Karena adanya rasa percaya, Mbah Tupon pun mengikuti arahan pembeli tersebut tanpa banyak pertanyaan. Kemudian, sertifikat tanah seluas 1.655 meter persegi itu diserahkan kepada pihak pembeli. Beberapa waktu kemudian, perwakilan dari PNM datang dan menginformasikan bahwa lahan tersebut akan dilelang dan kini tercatat atas nama Indah Fatmawati.
"Mbah Tupon kaget dan keluarga Mbah Tupon ya kaget. Akhirnya bertanya kepada pihak pembeli tanah tadi. Ternyata, pihak yang dititipi setifikat itu mengaku tidak tahu menahu karena dalam proses pemecahan sertifikat itu diberikan ke rekanannya. Rekananya itu memberikan kepada rekanannya lagi," ucap Agil.
Lebih lanjut, diketahui bahwa Mbah Tupon beberapa kali diminta menandatangani dokumen yang tak ia pahami isinya. Penandatanganan dilakukan di kawasan Janti, namun hingga kini belum diketahui secara pasti apakah itu di bank, notaris, atau kantor lainnya.
"Karena Mbah Tupon kalau ditanya enggak tahu detail lokasinya. Yang penting itu lokasinya semacam kantor. Di situ, Mbah Tupon dan istri ada tanda tangan beberapa kali. Jumlahnya saya tidak paham dan isinya tidak dibacakan. Sedangkan, Mbah Tupon tidak bisa membaca isinya," jelasnya.
Beberapa waktu setelahnya, Mbah Tupon kembali diajak ke daerah Krapyak untuk menandatangani dokumen, dan lagi-lagi tidak mengetahui lokasi detailnya.
"Karena Mbah Tupon meminta bantuan kepada saya, ya saya langsung mengumpulkan pengurus RT dulu untuk istilahnya mencari jalan keluar."
"Hasilnya, saya mengajak keluarga Mbah Tupon menemui orang kepercayaannya tadi. Kata orang kepercayaan itu, sertifikat sudah diserahkan ke orang lain dan orang lain lagi. Jadi proses sertifikatnya sudah beralih-beralih-beralih seperti itu," ujarnya.
Setelah itu, Agil bersama warga dan tokoh setempat mengadakan doa bersama serta aksi damai sebagai bentuk dukungan moral. Mbah Tupon dan keluarganya mengalami tekanan psikologis dan trauma atas kejadian tersebut.
Kegiatan itu digelar sebagai bentuk solidaritas dan dukungan terhadap keluarga Mbah Tupon. Menurut keterangan anak Mbah Tupon, Heri Setiawan (31), peristiwa ini bermula dari tawaran untuk memecah sertifikat.
BR, pihak yang membeli 298 meter tanah Mbah Tupon, menawarkan bantuan pelunasan utang sebesar Rp35 juta dengan iming-iming memfasilitasi pemecahan sertifikat. Namun alih-alih utangnya lunas, Mbah Tupon justru mendapati sertifikatnya dibaliknama atas nama IF dan dijadikan jaminan di bank senilai Rp1,5 miliar.
Baik Heri maupun Mbah Tupon mengaku tidak mengenal sosok IF. Mereka baru mengetahui sertifikat sudah atas nama orang lain dan dijaminkan ke bank pada Maret 2024.
Saat ini, kasus dugaan mafia tanah terkait aset milik Mbah Tupon telah dilaporkan ke Polda DIY pada April 2025.
"Kata penyidik itu sudah mafia, laporkan TR, BR, TRY, AR, dan IF," katanya.
Melansir dari Kompas.com, Perkara sengketa tanah yang menimpa Mbah Tupon sempat menarik perhatian masyarakat, khususnya warga di lingkungan tempat tinggalnya. Ketua RT 04, Agil Dwi Raharjo menyampaikan bahwa bentuk dukungan warga kepada Mbah Tupon diwujudkan melalui doa bersama, pemasangan spanduk bertuliskan "tanah dan rumah dalam sengketa", serta mengajak warganet untuk ikut memberikan dukungan.
Mbah Tupon dikenal sebagai pribadi yang ramah dan sering bergaul dengan warga sekitar. Ia juga dikenal murah hati karena pernah menghibahkan sebagian lahannya untuk pembangunan jalan dan fasilitas gudang RT.
"Ketulusan Mbah Tupon ini membuat warga bertekad untuk terus mengawal persoalan yang sedang ia hadapi hingga tuntas," ujar Agil, dikutip dari Kompas.com, Minggu (27/4/2025).
Masyarakat setempat juga menginisiasi dukungan melalui media digital dengan mempublikasikan kisah Mbah Tupon di situs change.org. Selain itu, warga turut mendampingi keluarga Mbah Tupon saat melaporkan kasus tersebut ke Polda DIY sebagai bentuk solidaritas nyata. (*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Fidiah Nuzul Aini |
Editor | : | Fidiah Nuzul Aini |