Saat lampion melayang ke angkasa, terkandung harapan akan kedamaian, kebahagiaan, dan pencerahan bagi seluruh makhluk hidup melampaui sekat ras, bangsa, dan keyakinan.
Makna lain dari tradisi ini adalah simbol penerangan dalam hidup. Dikutip dari Kompas.com, seperti dijelaskan dalam Jurnal Wisata Religi sebagai Tradisi Masyarakat Buddha (2023), menyalakan lampion menjadi cerminan usaha manusia untuk menerangi jalannya sendiri di tengah kegelapan dunia.
Cahaya kecil itu menjadi perlambang kebijaksanaan yang membimbing manusia menjauh dari kesesatan. Filosofi tradisi pelepasan lampion juga bisa dilihat dari sisi cahaya lampion yang mewakili pencerahan batin, mengingatkan kembali pada momen ketika Siddhartha Gautama mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi.
Tradisi ini menjadi refleksi spiritual umat akan pentingnya kebangkitan kesadaran untuk mengatasi penderitaan dan mencapai kedamaian sejati.
Namun makna lampion tak berhenti di situ. Ia juga menjadi simbol kasih sayang universal dalam ajaran Buddha. Doa dan cahaya yang dilepaskan mencerminkan kepedulian terhadap sesama makhluk, menegaskan semangat welas asih yang menyentuh seluruh penjuru dunia.
Pelepasan lampion juga dipercaya sebagai momentum untuk melepaskan beban batin. Kemarahan, iri hati, dan keserakahan dilepas bersama terbangnya lampion, sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Buddha dan ajarannya yang membimbing umat pada jalan pencerahan.
Tradisi lampion Waisak menjadi bukti bagaimana warisan spiritual bisa diwujudkan dalam tindakan sederhana namun sarat makna. Di langit yang diterangi cahaya-cahaya kecil itu, umat Buddha mengirimkan pesan keheningan: bahwa harapan, cinta kasih, dan pencerahan adalah cahaya yang selalu menyala, bahkan di tengah kegelapan dunia. (*)
Source | : | Tribunnews.com,KOMPAS.com |
Penulis | : | Siti M |
Editor | : | Siti M |