Grid.ID - Menjelang datangnya Hari Raya Waisak, biasanya ada ritual atau tradisi pelepasan lampion. Kegiatan itu biasanya dilakukan saat malam puncak perayaan Waisak.
Untuk tahun ini, Hari Raya umat Buddha itu bakal jatuh pada Senin, 12 Mei 2025. Hal ini rupanya berdasarkan dari Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1017, Nomor 2, dan Nomor 2 Tahun 2024. Dimana pada tanggal 13 Mei 2025 juga akan dihitung sebagai cuti bersama.
Sontak saja, momen Hari Raya Waisak ini menjadi momen yang juga banyak ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Karena di momen ini, banyak orang juga akan merasakan hari libur.
Dan hal yang cukup menarik perhatian, yakni dimana Candi Borobudur nantinya bakal banyak dikunjungi di Raya Hari Waisak. Pasalnya setiap tahun Candi Borobudur akan melakukan serangkaian acara keagamaan.
Salah satunya yakni pelepasan lampion pada malam puncak Hari Raya Waisak 2025. Dimana momen itu menarik minat banyak orang tak cuma umat Buddha.
Filosofi dan Makna Lampion yang Diadakan di Hari Raya Waisak
Ya, tradisi pelepasan lampion memang masuk dalam salah satu rangkaian yang diadakan pada Hari Raya Waisak. Pada momen itu, lampion akan diterbangkan ke langit pada malam hari.
Dann ya, tradisi itu rupanya bukan hiasan atau semata hanya ritual. Melainkan sarat pula akan filosofi dan makna yang mendalam.
Cahaya Harapan di Langit Waisak: Makna Mendalam di Balik Tradisi Lampion
Setiap perayaan Waisak, langit malam berubah menjadi lautan cahaya saat ribuan lampion terbang perlahan, membawa harapan dan doa dari jutaan umat Buddha. Di balik keindahannya yang memukau, tradisi pelepasan lampion menyimpan makna spiritual yang mendalam dan sarat simbolisme.
Bagi umat Buddha, lampion bukan sekadar hiasan atau ritual seremonial. Ia merupakan simbol permohonan tulus kepada Yang Ilahi dan semesta.
Saat lampion melayang ke angkasa, terkandung harapan akan kedamaian, kebahagiaan, dan pencerahan bagi seluruh makhluk hidup melampaui sekat ras, bangsa, dan keyakinan.
Makna lain dari tradisi ini adalah simbol penerangan dalam hidup. Dikutip dari Kompas.com, seperti dijelaskan dalam Jurnal Wisata Religi sebagai Tradisi Masyarakat Buddha (2023), menyalakan lampion menjadi cerminan usaha manusia untuk menerangi jalannya sendiri di tengah kegelapan dunia.
Cahaya kecil itu menjadi perlambang kebijaksanaan yang membimbing manusia menjauh dari kesesatan. Filosofi tradisi pelepasan lampion juga bisa dilihat dari sisi cahaya lampion yang mewakili pencerahan batin, mengingatkan kembali pada momen ketika Siddhartha Gautama mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi.
Tradisi ini menjadi refleksi spiritual umat akan pentingnya kebangkitan kesadaran untuk mengatasi penderitaan dan mencapai kedamaian sejati.
Namun makna lampion tak berhenti di situ. Ia juga menjadi simbol kasih sayang universal dalam ajaran Buddha. Doa dan cahaya yang dilepaskan mencerminkan kepedulian terhadap sesama makhluk, menegaskan semangat welas asih yang menyentuh seluruh penjuru dunia.
Pelepasan lampion juga dipercaya sebagai momentum untuk melepaskan beban batin. Kemarahan, iri hati, dan keserakahan dilepas bersama terbangnya lampion, sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Buddha dan ajarannya yang membimbing umat pada jalan pencerahan.
Tradisi lampion Waisak menjadi bukti bagaimana warisan spiritual bisa diwujudkan dalam tindakan sederhana namun sarat makna. Di langit yang diterangi cahaya-cahaya kecil itu, umat Buddha mengirimkan pesan keheningan: bahwa harapan, cinta kasih, dan pencerahan adalah cahaya yang selalu menyala, bahkan di tengah kegelapan dunia. (*)
Source | : | Tribunnews.com,KOMPAS.com |
Penulis | : | Siti M |
Editor | : | Siti M |