Grid.ID- Perselingkuhan bukan hanya menyisakan luka dalam pernikahan, tetapi juga berpotensi menjadi kasus hukum jika memenuhi unsur perzinaan. Lantas, apa saja alat bukti perselingkuhan yang sah dan apakah tindakan selingkuh bisa dipidana?
Dalam banyak kasus, korban perselingkuhan merasa tak berdaya karena mengira tak ada landasan hukum untuk menuntut pasangan yang berselingkuh. Padahal, hukum pidana di Indonesia, baik melalui KUHP lama maupun KUHP baru yang berlaku mulai 2026, membuka peluang bagi korban untuk melaporkan pelaku jika perbuatannya masuk dalam kategori perzinaan atau overspel.
Agar laporan dapat diproses, korban harus menyertakan alat bukti perselingkuhan yang dapat meyakinkan penyidik bahwa telah terjadi persetubuhan di luar ikatan perkawinan. Bukti-bukti ini tidak hanya terbatas pada kesaksian, tetapi juga dapat berupa dokumen elektronik seperti foto, video, hingga isi chat yang mendukung dugaan perzinaan.
Apakah Perselingkuhan Bisa Dipidanakan?
Secara hukum, istilah perselingkuhan tidak dikenal secara eksplisit dalam KUHP, baik yang lama maupun yang baru. Namun, menurut Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, pelaku perselingkuhan tetap bisa dijerat hukum karena perbuatan tersebut masuk dalam kategori overspel atau perzinaan.
Dalam KUHP lama, perzinaan diatur dalam Pasal 284. Sementara dalam KUHP baru, tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 Pasal 411, aturan menjadi lebih rinci dan ancaman pidananya lebih berat.
Menurut Muchamad Iksan, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, perzinaan dalam KUHP merupakan perbuatan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan dan harus melibatkan setidaknya satu pihak yang telah menikah. Dikutip Kompas.com, Minggu (11/5/2025), ia menjelaskan bahwa definisi perzinaan dalam KUHP lebih sempit dari makna umum perselingkuhan karena harus ada unsur persetubuhan sebagai syarat utamanya.
“Pengertian perzinaan, aslinya lebih luas dari pengertian yang digunakan dalam KUHP itu, setiap hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan,” tuturnya. Jadi, perselingkuhan yang hanya sebatas komunikasi atau kedekatan emosional tidak termasuk ke dalam perzinaan yang bisa diproses secara pidana.
Keduanya menegaskan bahwa perselingkuhan termasuk delik aduan absolut, artinya hanya dapat diproses jika ada laporan dari pihak suami atau istri yang dirugikan. “Jika tidak ada pengaduan, maka walaupun perzinaan itu diketahui aparat penegak hukum atau masyarakat, tetap tidak bisa diproses hukum atau dituntut,” jelas dia.
Laporan tersebut tidak boleh “dibelah”. Artinya kedua pelaku, termasuk selingkuhan, harus sama-sama dilaporkan dan diproses hukum.
Menurut KUHP lama, pelaku bisa dijatuhi pidana penjara maksimal 9 bulan. Dalam KUHP baru yang akan berlaku pada 2026, hukuman diperberat menjadi maksimal 1 tahun penjara atau denda maksimal Rp 10 juta.
Baca Juga: 10 Cara Elegan Mengakhiri Hubungan Perselingkuhan, Bye Selingkuhan!
Source | : | Kompas.com,Hukumonline.com |
Penulis | : | Mia Della Vita |
Editor | : | Nesiana |