Grid.ID- Dedi Mulyadi berikan kebijakan jam malam, pelajar dilarang berkeluyuran di atas jam 8 malam. Hal ini disebut sebagai bentuk pencegahan kenakalan remaja.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama dengan Polda Metro membuat memorandum of understanding (MoU) di Gedung pakuan, Kota Bandung, Jumat (16/5/2025). Kerja sama ini dilakukan untuk mendorong anak-anak di Jawa Barat bisa tertib disiplin dalam berlalu lintas.
Selain hal tersebut, Dedi Mulyadi juga akan memberlakukan jam malam. Kebijakan ini nantinya akan mengatur anak-anak sekolah tidak boleh berada di luar rumah untuk nongkrong di atas jam 8 malam.
"Kemudian pembersihan berbagai problem yang bisa merusak remaja. Narkoba, obat terlarang, minuman oplosan yang tersebar dimana-mana dan pengetatan pengawasan anak sekolah," kata Dedi.
"Jam tertentu mungkin saya akan berlakukan pada hari belajar tidak boleh lagi nongkrong di atas jam 8 misalnya. Karena kan mereka harus di rumah, di luar godaannya terlalu banyak," tambah Dedi dikutip Grid.ID dari Kompas.com.
Dedi Mulyadi juga menyoroti kebijakannya melarang siswa membawa kendaraan ke sekolah yang membawa dampak positif. Dia bersyukur karena angka kenakalan remaja di Jawa Barat semakin menurun.
"Hari ini saya bersyukur, di berbagai tempat mengalami penurunan. Anak bersekolah dengan baik, tawuran mulai menurun, anak sudah senang berjalan kaki. Ini sebuah sinyal, semua kebijakan akan berjalan manakala dilakukan secara sinergi," ucapnya.
Adapun kebijakan Dedi Mulyadi untuk mendidik siswa bermasalah ke barak militer masih menjadi polemik hingga saat ini. Sempat mendapatkan teguran dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dedi Mulyadi kemudian menanggapi bahwa dirinya tidak sependapat dengan KPAI terkait dugaan intimidasi siswa di barak militer.
Sebelumnya, KPAI menyebut sejumlah pelajar diancam tidak naik kelas jika menolak ikut pelatihan karakter melalui militer. Dedi Mulyadi kemudian mengatakan bahwa seharusnya KPAI ikut turun tangan dalam masalah anak dan tidak hanya berkomentar saja.
"Kalau KPAI merasa ada yang salah, mari kita turun bersama. Jangan hanya berkomentar dari jauh, tapi ambil peran dalam mendidik anak-anak," kata Dedi Mulyadi, dilansir Grid.ID dari Tribunnews.com.
Adapun dari pihak yang mendukung yaitu ada Komandan Resimen Armed 1 Sthira Yudha, Kolonel Arm Roni Junaidi, menyatakan pihaknya siap untuk terus membantu pemerintah daerah dalam menjalankan program pembinaan karakter pelajar. Dia akan memastikan tidak akan ada tindak kekerasan dalam proses pelatihan dan berjanji akan meningkatkan kenyamanan fasilitasi di barak kedepannya.
“Ini murni untuk pembinaan. Fasilitas akan terus kami benahi agar para pelajar merasa nyaman, dan tentu saja kami pastikan tidak ada kekerasan,” kata Roni.
Terkait Dedi Mulyadi berikan kebijakan jam malam dan pelatihan anak bermasalah di barak militer, dari Komisioner KPAI yaitu Aris Adi Leksono mengaku masih belum bisa menilai apakah dalam program mengirim anak-anak bermasalah ke barak militer adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Aris mengatakan, program pembinaan anak bermasalah di barak militer ini baru berjalan, sehingga KPAI masih melakukan pengawasan.
Menurut pendapat Aris, anak termasuk dalam kelompok rentan sehingga perlu adanya pendekatan serta perlindungan. Perlindungan ini kemudian dilakukan dengan memenuhi hak-hak anak.
"Kami belum bisa pada tepat atau tidak, karena ini juga baru berjalan, kami akan melakukan pengawasan. Tapi pada prinsipnya begini, anak masuk dalam kelompok rentan. Karena dia masuk dalam kelompok rentan, maka dia butuh pendekatan-pendekatan khusus, dia butuh perlindungan." tegas Aris.
"Dalam ruang lingkup perlindungan anak itu ada tahapan bagaimana pemenuhan hak anak, yang kemudian baru pada tahapan perlindungan khusus anak," tutupnya.
Jika program Dedi Mulyadi ini menyasar anak bermasalah, Aris pun mempertanyakan pelabelan anak bermasalah ini apakah benar karena perilaku anak menyimpang atau hanya stigma saja.
"Artinya kalau program ini menyasar pada anak-anak yang dalam tanda kutip di stigma anak nakal anak bermasalah ini saya kira ini persoalan tersendiri. Karena ini akan menjadi anak korban stigma," terang Aris.
Hal ini karena menurut Aris, anak tidak akan berperilaku menyimpang jika pemenuhan haknya berjalan dengan baik. Hal ini dilakukan melalui pengasuhan optimal dari orang tua serta komunikasi yang terjalin dengan baik sehingga persoalan psikis tidak muncul lagi.
"Memberikan perhatian, kepercayaan yang terbaik, sehingga persoalan psikis, perilaku menyimpang yang kemudian dialami, dia akan komunikasikan dengan baik kepada orang tua dan orang tua dengan pengasuhan terbaiknya memberikan solusi yang terbaik pula," jelas Aris.
Selain hal tersebut, anak juga perlu pemenuhan hak dari satuan pendidikan. Karena satuan pendidikan berperan memberikan fasilitas pendidkan, pengenalan budaya, hingga pemanfaatan waktu luang anak, sehingga anak bisa tumbuh dengan mental yang memiliki ketahanan serta pengendalian diri yang baik.
"Berikutnya ada satuan pendidikan yang punya peran bagaimana kemudian memberikan hak kepada anak-anak terkait pendidikan, pemanfaatan waktu luangnya, pengenalan budayanya, agar kemudian dia mampu tumbuh dengan mental yang memiliki ketahanan atau self kontrol terhadap dirinya," ucap Aris.
"Kemudian tidak masuk pada perilaku menyimpang atau pergaulan-pergaulan menyimpang, atau lingkungan negatif. Kalau hak ini dipenuhi maka tidak perlu membutuhkan perlindungan khusus," imbuhnya.
Dedi Mulyadi berikan kebijakan jam malam bisa menjadi bentuk pengendalian diri dan menjauhi hal-hal menyimpang. Lalu untuk pembinaan siswa bermasalah di barak militer secara khusus tidak diperlukan jika hak-hak dasar anak terpenuhi.
Dari hal tersebut, Aris kemudian mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memenuhi hak-hak anak ini terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melakukan pembinaan ke anak bermasalah di barak militer. Aris menilai bahwa lingkungan militer tidak sesuai dengan tumbuh kembang anak.
"Maka pertanyaannya adalah bagaimana kemudian Pemerintah daerah memenuhi hak ini dulu. Tidak serta merta ada anak nakal, sementara haknya belum terpenuhi." ucap Aris.
"Kemudian anaknya harus menanggung akibat itu, dalam bentuk mengikuti pendidikan khusus di militer, yang tentu itu banyak yang tidak sesuai dengan masa tumbuh kembang anak," tegas Aris. (*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Faza Anjainah Ghautsy |
Editor | : | Nesiana |