Peneliti menyebut efek yang ditemukan termasuk dalam kategori “kecil”, namun tetap memiliki arti penting dalam konteks kesehatan masyarakat. Meski tak menyebabkan penyakit secara langsung, perselingkuhan bisa menjadi pemicu stres berat. Stres ini memicu peradangan dalam tubuh, memperlemah sistem imun, dan dalam jangka panjang berpotensi memperburuk kondisi kronis.
Menariknya, penelitian ini juga menemukan bahwa faktor sosial-ekonomi turut memengaruhi dampaknya. Individu dari kelompok berpenghasilan rendah dan minoritas etnis lebih rentan mengalami gangguan kesehatan setelah diselingkuhi. Dengan kata lain, mereka yang sudah berada dalam posisi rentan secara sosial dan ekonomi akan semakin dirugikan ketika menghadapi trauma pengkhianatan.
Oh menekankan bahwa masyarakat perlu menyadari seriusnya dampak perselingkuhan. Tak hanya menghancurkan hubungan, tindakan ini juga bisa memperparah kesehatan seseorang. Mereka yang merasa kesulitan mengatasi efek emosional akibat diselingkuhi disarankan untuk mencari bantuan profesional, seperti konseling atau terapi psikologis.
Meski demikian, studi ini juga memiliki keterbatasan. Data diperoleh dari laporan mandiri para partisipan. Artinya, akurasi informasi tergantung pada seberapa jujur atau akurat ingatan mereka saat menjawab. Selain itu, studi ini tidak mengungkap kapan perselingkuhan terjadi atau dalam konteks apa, apakah hanya sebatas emosional atau sudah bersifat fisik.
Oh menutup dengan pernyataan sederhana namun penuh makna. “Tolong setialah pada pasangan Anda," katanya.
Penelitian ini menjadi yang pertama menunjukkan bahwa perselingkuhan bisa picu penyakit kronis. Ini mengingatkan kita bahwa konsekuensi dari pengkhianatan tidak berhenti pada tangisan atau perceraian saja.
Luka di hati bisa berubah menjadi luka di tubuh. Maka dari itu, menjaga kesetiaan bukan hanya soal etika, tapi juga soal kesehatan. (*)
Source | : | Psypost |
Penulis | : | Mia Della Vita |
Editor | : | Nesiana |