Grid.ID- Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi rencanakan hapus PR anak sekolah sebagai kebijakan terbarunya. Ternyata ini plus dan minusnya menurut psikolog.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ungkap rencana untuk menghapus pekerjaan rumah (PR) bagi para pelajar. Rencana ini bersamaan dengan kebijakan jam masuk sekolah pukul 06.30 WIB yang diberlakukan mulai tahun ajaran 2025/2026.
"Karena anak tidak boleh keluar rumah lebih dari jam 21.00 WIB tanpa pendamping, tanpa keperluan mendesak yang didasarkan pada izin orang tua. Maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana menghapus pekerjaan rumah bagi anak sekolah," ujar Dedi, dikutip Grid.ID dari Tribun-Medan.com.
Dedi mengatakan bahwa ada kekeliruan dalam pemberian PR untuk siswa selama ini. Hal ini lantaran, biasanya PR siswa, khususnya tingkat sekolah dasar (SD), justru dikerjakan oleh orang tua.
"Karena selama ini kan ada sesuatu yang ironi. Ironinya bagaimana? Gurunya ngasih PR pada muridnya, yang ngerjainnya orang tuanya," ucapnya.
Menurutnya, semua urusan yang berkaitan dengan pembelajaran harus diselesaikan di sekolah. Sementara itu, selama di rumah waktu anak-anak digunakan untuk beristirahat dan membantu orang tua.
"Seluruh pekerjaan sekolah dikerjakan di sekolah, tugas sekolah dikerjakan di sekolah, tidak dibawa menjadi beban rumah, di rumah anak-anak tidur rileks, baca buku, olahraga, fokus membantu orang tua," katanya.
Dilansir dari Kompas.com, Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang, Dr. Christin Wibhowo, S.Psi., M.Si., menilai bahwa kebijakan penghapusan PR memiliki dampak negatif dan positif. Menurutnya, PR bisa menjadi alat untuk menumbuhkan kedisiplinan dan kemandirian anak, terutama pada jenjang SD dan SMP, serta mendorong keterlibatan orang tua dalam proses belajar anak.
"Keterlibatan yang dimaksud adalah orang tua dapat mengetahui kemampuan anak dan bisa mendeteksi jika anak mengalami hambatan dalam pelajaran. Selain itu, attachment atau ikatan antara orang tua dengan anak dapat tercipta," tutur Christin.
Christin juga menambahkan bahwa kehadiran orang tua dalam proses akademik membuat anak merasa tidak sendirian dalam menghadapi masa sulit. PR dalam bentuk yang tepat, bisa menjadi sarana agar orang tua bisa memahami progress anak.
Christin menjelaskan bahwa jika tak ada PR, maka anak cenderung hanya belajar di sekolah dan menganggap rumah sebagai tempat istirahat. Akibatnya, persiapan ujian akan menjadi kurang optimal.
Baca Juga: Ikuti Jejak China, Dedi Mulyadi Akan Bangun Sekolah dari Bambu, Dosen ITB Ungkap Kelebihannya!
Dia berpandangan bahwa anak mungkin akan merasa cukup belajar di sekolah dan enggan untuk mengulang materi di rumah. Dalam jangka waktu yang panjang, hal ini akan berdampak pada berkurangnya kemandirian dan tanggung jawab anak dalam belajar dan keterlibatan orang tua pun menjadi menurun.
“Kalau tidak ada PR, orang tua jadi nggak paham pelajaran anak sampai mana, keunggulan dan hambatannya apa. Kualitas dan kuantitas kebersamaan dengan anak juga bisa terdampak,” kata Christin.
Namun, di sisi lain Christin mengakui bahwa penghapusan PR bisa memberi ruang bagi orang tua untuk lebih fokus pada kegiatan non-akademik bersama anak, seperti rekreasi, olahraga ataupun hobi lainnya.
Christin juga mengatakan bahwa PR bukan hanya soal tugas, tetapi juga perantara kedekatan antara anak dan orang tua. Jika PR dihapus, orang tua perlu mencari alternatif untuk tetap terlibat dalam proses belajar anak.
"PR adalah salah satu fasilitas kedekatan orang tua dengan anak, jadi jika PR dihapus, orang tua harus mencari kegiatan lain yang tetap dekat dengan anak," ungkapnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar waktu luang yang dimiliki anak dimanfaatkan untuk hal lain. Namun, tetap harus menjaga kualitas dan kuantitas hubungan orang tua dengan anak.
"Kalau nggak ada PR, waktu luang bisa digunakan untuk belajar di luar sekolah. Kedekatan antara orang tua dengan anak juga bisa dibentuk lewat kegiatan lain. Kuantitas ditambah, bukan cuma kualitas,” ucapnya.
Christin juga menyarankan adanya sistem pelaporan dari pihak sekolah jika PR benar-benar dihapus. Hal ini bertujuan agar orang tua bisa tetap memiliki akses informasi terkait dengan materi yang sedang dipelajari anak.
"Kalau PR mau dihapus, harus ada penggantinya. Orang tua tetap diberi laporan, bisa per hari atau per minggu, anak sedang belajar apa, agar orang tua juga tahu dan mengaitkannya dengan hidup sehari-hari," jelasnya.
Adapun, menanggapi kebijakan Dedi Mulyadi rencanakan hapus PR, Christin mengatakan bahwa dia secara pribadi setuju jika PR tetap diadakan. Namun, tentunya PR ini bukan dalam bentuk yang membebani anak.
"Saya sendiri setuju jika PR tetap diadakan, tapi dengan syarat bukan PR yang membebani. Kalau PR-nya berat, ada banyak soal, nah itu baru tidak perlu," tutupnya. (*)
Baca Juga: Kebijakan Baru Dedi Mulyadi, Sekolah di Jabar Berlangsung Mulai Pukul 6.30 dan PR Dihapuskan
Source | : | TRIBUN-MEDAN.com,Kompas |
Penulis | : | Faza Anjainah Ghautsy |
Editor | : | Ayu Wulansari K |