Find Us On Social Media :

Film G30S/PKI Ramai Diperbincangkan, Begini Komentar Hanung Bramantyo

By Ahmad Rifai, Kamis, 21 September 2017 | 00:12 WIB

Hanung Bramantyo | Kompas Entertainment

Laporan Wartawan Grid.ID, Ahmad Rifai

Grid.ID - Hanung Bramantyo adalah seorang sutradara yang telah membuat berbagai film populer di Indonesia.

Tak sekedar jadi sutradara, suami Zaskya Adya Mecca ini ternyata juga ngikutin info-info terbaru lho.

Dia cukup aktif untuk memberi komentar di akun Twitter miliknya.

Baru-baru ini muncul wacana film G30S/PKI akan diputar kembali.

(Baca juga: Beredar Himbauan Tonton Film G30S/PKI, Orang Tua Harus Selektif, Ternyata Bisa Berbahaya Bagi Psikologi Anak)

Ternyata, Hanung Bramantyo juga ikut bersuara terkait hal ini.

Sebagai seorang yang bergelut di bidang film, dirinya juga tak mau ketinggalan untuk berkomentar.

Berikut rangkaian cuitan Hanung Bramantyo di akun Twitter pribadinya.

Rangkaian cuitan ini dia tulis kurang lebih di jam 12 siang, 17 September 2017.

(Baca juga: Christine Hakim Dukung Jokowi Bikin Film G30S PKI Versi Baru)

"Lagi rame polemik film G30S/PKI yang mau ditayangkan lagi di TV."

"Hmm, menarik."

"Komentar ah!"

" >

"Film G30S/PKI dibuat," oleh, "sutradara Arifin C Noor."

(Baca juga: Pria Ini Dipaksa Masuk ke Dalam Lubang, Setelah Dia Keluar, Ternyata Mengejutkan!)

"Serius banget bikinnya dan estetik."

"Soal akurat atau tidak itu urusan lain."

"Namanya juga film."

" >

"Saya ngefans banget sama film G30S/PKI karena unsur sinematik di dalamnya sangat kaya dan cerdas."

(Baca juga: Tidak Hanya Peselisihan, Nafa Urbach Gugat Cerai Zack Lee Diduga Karena Ini...?)

"Aktor-aktor yang memerankan sangat meyakinkan."

" >

"Kalau tujuan film G30S/PKI diputar lagi biar penonton paham peristiwa sebenarnya di malam 30 September 1865, menurut saya kok gak tepat yah."

"Kenapa?"

" >

"Ke-1, film adalah realitas yang diciptakan."

(Baca juga: Ucapkan Hinaan Setelah Berhubungan Badan, Ini Dia Kronologi dan 6 Fakta Pembunuhan Bos Bakmi Cipondoh, Pelaku Ternyata Karyawannya!)

"Bukan realitas yang sebenarnya."

"Dia diciptakan oleh Produser-Sutradara-Penulis Skenario."

" >

"Ke-2, sejak awal penemuannya, film selain diyakini sebagai temuan teknologi, juga diyakini sebagai seni mengelabuhi penonton."

" >

Ternyata Hanung Bramantyo tak menyebutkan poin ke-3.

(Baca juga: Gugat Cerai Zack Lee, Beginilah 8 Penampilan Langsing dan Seksinya Nafa Urbach yang Bikin Kamu Jatuh Hati, Cantik Banget!)

Entah poin angka terlompati atau karena dihapus.

Lalu dia melanjutkan poin ke-4.

"Ke-4, tengok link ini."

(Baca juga: Mantan Personil T2 Ini Putuskan Berhijab, Begini Penampilannya Sekarang, Makin Cantik?

" >

"Ke-5, jagoan atau lawan bisa perseorangan atau kelompok."

"Seperti Avengers, Three Musketer, dan sebagainya."

"Demikian halnya dengan lawan."

" >

"Ke-6, film disebut realitas yang subyektif."

(Baca juga: Musdalifah Kaget Saat Suaminya Bawa Istri Muda ke Rumahnya)

"Terlihat dari bagaimana dia membingkai peristiwa (Framing)."

" >

"Ke-7, Kehidupan (Realitas) yang tersaji dalam banyak peristiwa tersebut dipilih sesuai dengan visi eksekutif produser dengan tujuan tertentu."

" >

"Ke-8, tujuan tertentu itu bisa murni bisnis, atau membentuk opini tertentu."

"Seperti yang dilakukan Hitler atau Jepang dengan film-film propagandanya."

(Baca juga: Setelah Berbulan Madu, Fairuz A Rafiq Langsung Jadi Begini, Diapain ya Sama Suaminya?)

" >

"Ke-9, eksekutif produser kemudian meminta produser untuk merealisasikan visinya."

"Mengemasnya secara kreatif dan entertaining."

" >

"Ke-10, produser lalu memilih penulis skenario untuk menuliskan visi dari eksekutif produser tersebut."

"Lalu dihidupkan oleh sutradara ke layar."

(Baca juga: Viral! Dirampok, Mahasiswa Ini Berjuang Lindungi Barang Paling Penting di Hidupnya, Coba Tebak Apa?)

" >

"Ke-11, lewat tangan Sutradara-Produser-Penulis Skenario, aktor dipilih, set dibangun."

"Lalu," kemudian, "direkam."

"Woala!"

"Realitas tercipta dalam layar."

(Baca juga: Ingat Bintang Iklan Menggemaskan Ini? Sekarang Afiqah Terlihat Cantik dan Tetap Imut loh)

" >

"Ke-12, oh ya, ditambah musik atau narasi agar lebih tergambar nuansa dramatisnya."

" >

"Ke-13, realitas tersebut membentuk sudut pandang."

"Subyektifitas tergambar."

"Itu yang diapresiasi."

(Baca juga: Premium, Kim Jong-un Ternyata Belajar di Negara Ini, Susah Payah Menyamar Demi Dapatkan Ilmu, Kisah Misteriusnya Bermula Sejak Usia 7 Tahun)

"Bukan semata-mata," malah, "dipercayai!"

" >

"Ke-14, pandangan ini, buat saya, berlaku untuk semua jenis film."

"Fiksi, sejarah," dan, "non-fiksi."

"Termasuk doku-drama seperti film G30S/PKI."

(Baca juga: Hati-Hati, Unduh Aplikasi Ini, Banyak Warga Dikeluarkan dari Pekerjaannya, Ternyata Ini Alasan Pemerintah)

" >

"Ke-15, pembuat film berhak mengklaim sudut pandang tersebut akurat, sesuai data, didukung sejarawan kelas wahid."

"Itu sah banget!!!"

" >

"Ke-16, itu memang tanggung jawabnya untuk meyakinkan penonton agar menonton film tersebut."

" >

"Ke-17, Jadi kalau film G30S/PKI diputar lagi, anggap saja seperti sinetron re-run seperti Tersanjung."

(Baca juga: Hidup Dalam Era Pengawasan Massal, Inilah 5 Aplikasi Smartphone yang Bisa Lindungi Aktivitasmu di Dunia Daring)

"Kalau tak suka ya matikan saja TV-nya."

" >

"Ke-18, buat saya, gak ada yang salah di film G30S/PKI."

"Karena, visi eksekutif produsernya jelas."

"Membuat penonton membenci PKI dan memuja orde baru."

(Baaca juga: iPhone X, Ponsel dengan Teknologi Paling Rentan?)

" >

"Ke-19, sebagai sutradara, Arifin C Noer, berhasil menyajikan horor di Lubang Buaya."

"Tentunya berdasar sudut pandang eksekutif produser (Orde Baru)."

" >

"Ke-20, terus terang kalau sampai sekarang, kalau saya nonton sendirian juga masih keder."

" >

"Ke-21, kalau ada yang terganggu dengan subyektivitas di film G30S/PKI, ya silahkan bikin versi lain."

(Baca juga: Frasa 'Antifa' Lagi Ramai Diperbincangkan, Berikut 4 Hal yang Perlu Kamu Tahu, yang Terakhir Alasannya Bikin Hati Terenyuh)

"Itulah demokrasi."

"(Eh? Kita masih demokrasi gak sih?)"

" >

"Ke-22, Demikian pandangan saya soal film G30S/PKI yang mau tayang."

"Gak penting sih."

(Baca juga: Sistem Pada Otak Robot Makin Otonom, Benarkah Manusia Akan Jadi Rongsokan di Masa Depan?)

"Tapi biarin deh, lama gak asal ngomong di Twitter soalnya."

" >

Demikian cuitan Hanung Bramantyo di Twitter soal film yang katanya akan diputar.

Kalau menurut kamu sendiri bagaiamana?

(Baca juga: Ditulis oleh Iblis, Manuskrip Kuno Akhirnya Berhasil Dipecahkan, Isinya Bikin Kaget, Bahas Hubungan Antara Tuhan, Manusia, dan Setan)

Beredar Himbauan Tonton Film G30S/PKI, Orang Tua Harus Selektif, Ternyata Bisa Berbahaya Bagi Psikologi Anak

Menjelang akhir bulan September atau di awal bulan Oktober, pembahasan seputar tragedi 65 akan selalu ramai diperbincangkan.

Bagi seorang sejarawan, John Roosa, tragadi di tahun 1965 dan sesudahnya adalah tahun yang tak pernah berakhir.

Di tahun ini, jalinan antar generasi, sebelum tragedi 65 dan sesudahnya, terputus.

Tiap tahun, isu ini pasti akan terus diperbincangkan bagai mimpi buruk yang tak pernah selesai.

(Baca juga: Anak Bisa Muntahkan Jantung, Hidup Malang Hanya Bersama Sang Ibu, Videonya Menyayat Hati)

Tahun ini berbeda, karena ditambah makin ramai dengan kicauan di dunia daring.

Muncul kontroversi seputar rencana pemutaran kembali film G30S/PKI.

Dikutip wartawan Grid.ID, Ahmad Rifai, dari Kompas, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan kepada seluruh jajaran TNI dan menghimbau masyarakat untuk memutar film yang sebenarnya telah dihentikan tayang sejak 1998.

Kembali dikutip dari Kompas, film produksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) ini dibuat pada tahun 1984.

(Baca juga: Tidak Hanya Peselisihan, Nafa Urbach Gugat Cerai Zack Lee Diduga Karena Ini...?)

Film ini disutradari dan ditulis oleh Arifin C Noer.

Diproduksi selama 2 tahun dengan memakan anggaran sebesar 8 ratus juta kala itu.

Oleh para pembuatnya, ini merupakan film dokudrama, sebuah film drama dokumenter.

Bukan film dokementer.

(Baca juga: Pria Ini Dipaksa Masuk ke Dalam Lubang, Setelah Dia Keluar, Ternyata Mengejutkan!)

Film dokumenter adalah jenis film yang mendokumentasikan kenyataan.

Sedang film dokudrama menampilkan reka ulang yang didramatisasi dari peristiwa sejarah sebenarnya.

Selesai dibuat, film ini rutin diputar di bioskop nasional dan TVRI, kurang lebih beredar selama 13 tahun.

Kembali dikutip dari Kompas, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo beralasan ingin mengajak warga negara untuk tak lupa dengan sejarah kelam Indonesia.

(Baca juga: Ucapkan Hinaan Setelah Berhubungan Badan, Ini Dia Kronologi dan 6 Fakta Pembunuhan Bos Bakmi Cipondoh, Pelaku Ternyata Karyawannya!)

Namun, kembali dikutip dari Kompas, ketua Sekretariat Nasional Perlindungan Anak (Seknas PA), tak setuju dengan rencana pemutaran film G30S/PKI.

Samsul Ridwan mengajak semua pihak untuk berpikir.

Apakah dengan pemutaran film ini secara terbuka akan benar memberikan edukasi kepada anak-anak?

"Ada adegan pembunuhan, pembantaian, penculikan, dan sebagainya."

(Baca juga: Gugat Cerai Zack Lee, Nafa Urbach Tetap Setia dengan Penampilannya yang Seperti Ini)

Tentu akan, "berpengaruh pada psikologi anak."

"Dikhawatirkan, film ini dapat menimbulkan dendam dan mengintimidasi," untuk melakukan kekerasan.

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, sebelumnya tak keberatan dengan rencana pemutaran kembali film ini.

Kembali dikutip dari Kompas, baginya film ini sangat baik untuk mengenalkan sejarah kepada generasi muda Indonesia.

(Baca juga: Musdalifah Kaget Saat Suaminya Bawa Istri Muda ke Rumahnya)

Sedang Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, punya argumen yang bersebrangan.

Dikutip kembali dari Kompas, film ini tak layak dipertontonkan kepada anak-anak.

Ini dapat membahayakan psikologi anak-anak.

Baginya, masih ada film sejarah yang lebih mendidik dan layak disaksikan anak-anak.

(Baca juga: Mantan Personil T2 Ini Putuskan Berhijab, Begini Penampilannya Sekarang, Makin Cantik?)

Atas dasar pertimbangan ini, KPAI menghimbau para orang tua harusnya mementingkan hal terbaik bagi anak-anaknya.

Presiden RI saat ini, Joko Widodo, juga menanggapi kabar hangat ini.

Kembali dikutip dari Kompas, Presiden RI menekankan bahwa menonton film, apalagi sejarah, tentu penting.

Tapi bagi generasi milenial, seharusnya dibuatkan lagi film yang lebih sesuai.

(Baca juga: Viral! Dirampok, Mahasiswa Ini Berjuang Lindungi Barang Paling Penting di Hidupnya, Coba Tebak Apa?)

Harus lebih cocok dengan gaya para milenial yang kekinian.

Merespon saran Presiden RI, Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Hilmar Farid, siap untuk memproduksi versi terbaru film tentang tragedi 65.

Dirjen Kebudayaan yang dilantik pada 31 Desember 2015 ini mengaku pihaknya siap untuk menyanggupi permintaan Presiden RI.

Menurutnya, setidaknya ada 2 hal yang harus diperhatikan terkait rencana pembuatan film ini.

(Baca juga: Setelah Berbulan Madu, Fairuz A Rafiq Langsung Jadi Begini, Diapain ya Sama Suaminya?)

Pertama, isi cerita dalam film harus memuat temuan baru soal tragedi tersebut.

Sebab, ada banyak dokumen dan riset baru yang memungkinkan untuk dapat melengkapi cerita.

Kedua, bukan perkara mudah menceritakan sejarah kepada generasi milenial.

Sebab, generasi ini tak memiliki informasi sejarah dan fokus perhatian yang sudah berbeda.

(Baca juga:  5 Posisi Bercinta Ini Bisa Bikin Kamu Merasa Lebih Intim dengan Pasangan, Ada Posisi Seperti Sendok Juga loh)

Agar lebih mengenal generasi milenial, perlu adanya kordinasi dengan lembaga lain, misalnya Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Badan Ekonomi Kreatif.

Paling penting lagi, apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam film versi baru ini?

Hilmar Farid menekankan film ini harusnya menguatkan karakter dan identitas Bangsa Indonesia.

Dia berpendapat, kontribusi film sejarah harusnya demikian.

(Baca juga: Hati-Hati, Unduh Aplikasi Ini, Banyak Warga Dikeluarkan dari Pekerjaannya, Ternyata Ini Alasan Pemerintah)

bukan justru memperpanjang pro dan kontra.

Penting untuk berdiskusi dengan para pembuat film.

Sebelum dibuat, terlebih dahulu harus ditinjau ulang kembali film sebelumnya.

Apa yang kurang dan bagaimana alur cerita film versi baru yang akan dibuat.

Hal ini dilakukan agar lebih profesional dalam pembuatannya.(*)