Find Us On Social Media :

Kisah Para Petani Garam di Pantai Talise

By None, Rabu, 27 Maret 2019 | 11:02 WIB

Grid.ID - Gempa dan tsunami yang melanda Palu meluluhlantakkan semua yang ada di atasnya. 

Selain menewaskan ribuan orang juga menghancurkan sumber kehidupan. 

Berhektar-hektar tambak garam rakyat di tepian Pantai Talise lenyap seketika dan ratusan petani kehilangan mata pencarian. 

Tapi saat ini para petani mulai sedikit lega.         

  Terik matahari begitu menyengat. Di sebuah hamparan tanah lapang di tepian Pantai Talise Palu, beberapa lelaki tengah melakukan berbagai aktivitas dengan penuh semangat. Sebagian di antara mereka mencangkul untuk membuat galian tanah persegi empat dengan berbagai ukuran.

Sebagian lagi menyekop tanah, menaikkan ke gerobak dorong, kemudian membuangnya ke tempat lain.

Baca Juga : Luna Maya Unggah Kembali Foto 4 Tahun Silam, Netizen : Waktu Masih Jadi Pacar Reino Barack?

Ada juga lelaki yang memasang papan untuk menyangga agar antara satu pematang dengan pematang lainnya tidak jebol. Selain itu, masih banyak lagi jenis pekerjaan yang mereka lakukan.Para lelaki itu adalah petani garam yang dengan semangat tengah membuat petak-petak lahan garam baru.

Mereka bekerja tidak menghiraukan panas matahari yang menyengat. Wajah mereka penuh gairah.

Sambil terus mengayunkan lengan, mereka bersenda gurau menepis letih. Mereka begitu bersemangat, padahal gempa dan tsunami hebat September 2018 lalu telah melenyapkan ladang sumber mata pencaharian mereka.

 Lahan  luas yang sejak lama menjadi sumber penghidupan lenyap seketika. Kubangan-kubangan yang biasa untuk “menanam” garam itu tertimbun material dan pasir laut yang meluap.

Bencana sempat membuat para petani garam itu kelimpungan.  Bagaimana kembali menata kehidupan?

Di tengah kebingungan, mereka merasa beruntung tiba-tiba ada relawan dari Jejaring Mitra Kemanusiaan-OXFAM (JMK-OXFAM) datang untuk menawarkan bantuan agar mereka segera bisa mandiri dan menata kehidupan baru.

“Bantuan ini bagi kami merupakan berkah dan memberi manfaat luar biasa,” ujar Haris, salah satu petani garam.

TERGULUNG OMBAK

Berkat bantuan itulah, para petani garam di Pantai Talise sudah mulai melakukan aktivitas lagi, seperti yang mereka lakukan di siang panas itu. Kini, tak lagi tampak gurat duka akibat bencana yang dahsyat itu.

Mereka bekerja untuk kembali menata kehidupan  yang sempat porak-poranda. Majid, salah satu petani mengungkapkan,  tsunami hanya berlangsung beberapa menit tapi langsung melenyapkan mata pencarian sekitar 160 orang lebih petani garam.

Baca Juga : Luna Maya Unggah Kembali Foto 4 Tahun Silam, Netizen : Waktu Masih Jadi Pacar Reino Barack?

Majid kemudian menceritakan kejadian kelam di hari naas yang tak bakal terlupakan itu. Hari sudah mulai petang, ia bersama petani tambak lainnya sudah siap-siap pulang ke rumah setelah sejak pagi hari berkutat bekerja di bawah terik matahari.

 Tak lama kemudian dia merasakan tiba-tiba tanah yang menjadi pijakannya terguncang hebat. Saking kerasnya, ia sampai terjatuh. Ia melihat bangunan-bangunan yang ada di tepi jalan sudah mulai ambruk.

Belum lama menyadari  telah terjadi gempa, Majid melihat air laut yang tak jauh darinya itu bergolak pula.

Ombak tinggi datang dengan begitu deras,  bergulung-gulung menuju arah tepi pantai.

Begitu kuatnya, gelombang sampai menjebol tembok beton pembatas antara jalan dengan laut yang biasa digunakan orang-orang duduk menikmati senja.

Gelombang air laut pun langsung menghantam orang-orang yang ada di jalanan.  Karena cepatnya gelombang datang,  orang-orang yang ada di sana tidak sempat melarikan diri. 

“Mulai pengunjung sampai penjual aneka makanan di pantai itu tidak ada yang lolos, mereka langsung terbawa arus air yang begitu kuat,” cerita Majid.

Majid pun tak lepas dari bahaya yang mencekam.  Setelah menghantam beton pembatas, air setinggi sekitar dua meter itu kemudian mengarah padanya dengan sangat cepat.  

“Tambak milik saya tempat saya berdiri saat itu, hanya berjarak sekitar 100 meter. Jadi, saya tak bisa lagi berlari untuk menyelamatkan diri.  Gelombang datang langsung menenggelamkan tubuh saya, kemudian menghempaskan ke darat sekitar 150 meter dari titik saya berdiri,” papar Majid yang kini harus tinggal di pengungsian.

Maut terasa berada di depan mata. Majid tak lagi bisa berbuat apa-apa ketika dengan cepat pula gelombang menyeret dirinya kembali ke laut. 

Ia hanya bisa pasrah, menyandarkan diri pada Kuasa Allah.

Ia beruntung tubuhnya tersangkut pada sebatang pohon sehingga tidak terbawa ke tengah samudera. 

Baca Juga : Sempat Ogah Gantikan Posisi Almarhum Olga Syahputra, Akhirnya Billy Saputra Luluh Berkat Kalimat Ini

“Pohon itu menjadi kenang-kenangan karena telah menyelamatkan saya. Di pohon itulah saya tersangkut, ” papar pria asal Pasuruan, Jawa Timur, itu sambil menunjuk sebuah pohon.

Begitu air sudah kembali ke tengah laut, pemandangan berubah mencekam.  Majid melihat hampir semua bangunan di tepi pantai ambruk dihantam ombak.

Matanya nanar menyaksikan jasad manusia bergelimpangan bersama bongkahan-bongkahan bangunan yang berserakan.

Ditambah lagi berhektar-hektar tambak, termasuk miliknya, lenyap hanya dalam sekejap. 

“Pematang antar satu petak tambak garam dengan lainnya tidak ada lagi, karena tertimbun lumpur dan berbagai material. Demikian pula mesin diesel  untuk menyedot air laut ke kolam penampungan beserta pipa paralon, lenyap entah ke mana,” ujar Majid yang sudah 20 tahun merantau ke Palu dan menikah dengan warga setempat.

Musibah itu membuat beban Majid bertumpuk-tumpuk. Selain lahan garapannya hilang, rumahnya juga ambruk sehingga ia harus tinggal di tenda pengungsian.

“Yang membuat saya bersyukur, istri dan anak-anak saya selamat,” ujarnya.

BANGKIT DARI KETERPURUKAN

Musibah tersebut membuat semua petani garam Pantai Talise sempat putus harapan karena kehilangan mata pencarian utamanya. 

“Bagaimana kami tidak bingung, garam itu menjadi sumber utama kami. Begitu lahan lenyap,  hilang pula sumber penghidupan kami. Semua jadi mandeg,” timpal Haris, yang sudah sejak SD tahun 70-an menjadi petani garam membantu ayahnya, Saleh Lagoda.

Majid menambahkan,  sebelum tsunami datang menerpa, dari tiga petak tambak garam  yang total luasnya 2.400 meter pesegi itu mendatangkan hasil yang lumayan.

Sebulan dengan masa lima kali panen, bisa menghasilkan Rp 8 juta sampai Rp 9 juta.  “Bisa dibayangkan begitu mendeg, ekonomi keluarga jadi oleng,” jelas Majid.

Majid menambahkan, garam produksi para petani di pantai Talise bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Untuk garam berkualitas bagus dengan ciri butiran kristal besar-besar dan putih bersih  digunakan untuk konsumsi memasak.

“Jenis garam ini harganya paling tinggi. Satu karung dengan ukuran 60 kg, dijual dengan harga Rp 100 ribu,” papar Majid.

Untuk garam kualitas nomor dua yang bentuknya lebih lembut dan sedikit bercampur dengan tanah, 1 karung bisa terjual Rp 80 ribu.

“Garam jenis ini digunakan untuk campuran pupuk. Tanah pertanian di Palu, rata-rata proses pemupukannya menggunakan campuran garam. Karena itulah, kebutuhan garam di Palu lumayan tinggi,” tambah Majid. 

Salah satu petani garam yang segera bangkit dan tak mau larut dalam kesedihan adalah Syahrudin.  

Setelah 10 hari gempa, ia berusaha bangkit. Ia sadar tak boleh selamanya larut dalam kesedihan karena hidup harus tetap terus berlanjut.

“Memang saat itu suasana Palu sangat berduka. Bayangkan, ribuan orang menjadi korban. Rumah kami pun sudah hancur, sehingga kami harus tinggal di pengungsian.  Namun, saya harus segera bangkit  karena keluarga, kan, butuh hidup,” ujar Syahrudin.

Bapak tiga anak ini mulai membersihkan lahan tambak garamnya dari puing-puing sampah.

Syahrudin mencoba mencari garis pembatas antara satu lahan dengan lahan lainnya.  Ia kemudian mencangkul untuk membuat petak-petak lahan.  

Rupanya, langkah Syahrudin membuat teman-temannya yang lain juga ikut terlecut untuk mengikutinya. Mereka tak bisa terus-menerus duduk termangu di tenda pengungsian menunggu bantuan. 

“Jujur saja, begitu melihat Bang Syahrudin mulai bekerja, saya juga ikut-ikutan melakukannya,” ujar Majid.

Akan tetapi, langkah mereka terbentur dana. Untuk membuat petak lahan, butuh biaya yang tidak sedikit. 

Di sisi lain, mereka sudah tidak punya apa-apa lagi. Semua tabungan dan harta yang ada, sudah lenyap ditelan bencana.

Untuk membuat lahan baru, lanjut Majid, harus membuat kubangan-kubangan sebesar lahan yang dimiliki. Setelah itu, butuh diesel penyedot air laut, papan, selang paralon dan masih banyak lagi.  “Butuh dana jutaan rupiah. Kami sebagai petani kecil tentu sulit, apalagi kami juga dalam posisi tertimpa musibah, ” papar Majid  yang juga menjadi agen penjualan garam.

Beruntung, di tengah kesulitan JMK-OXFAM datang mengulurkan bantuan dana dan fasilitas. Majid pun kembali menemukan harapan.  Kini, Majid dan rekan-rekannya kembali mengolah lahan, membuat tambak garam baru. Mereka pun optimis bisa kembali menata kehidupannya. “Sungguh bantuan mereka menjadi berkah yang memberikan harapan,” kata Majid.

REJEKI UNTUK IBU

Kebahagiaan serupa juga diungkapan oleh Wilda (42). 

Ibu dua orang anak yang tinggal di Jl. Sam Ratulangi, Palu tersebut juga merasa bersyukur dengan kehadian JMK-OXFAM untuk membantu para petani garam yang dililit masalah paska gempa.  “Sebagai orang kecil tentu bantuan ini sangat luar biasa,” kata istri dari Andi Baso yang bekerja di Dinas Sosial tersebut.

Wilda menjelaskan setelah ayahnya Mashudi Labaco, meninggal di awal tahun 2018 lalu kemudian anaknya masing-masing diberi warisan sepetak lahan garapan di Pantai Talise.

Tapi meski lahan garapan itu menjadi haknya sebagai anak yang ingin berbakti kepada orang tua sehingga penghasilan sebagai petani garam itu setiap bulannya tidak diambol tetapi sengaja diberikan kepada sang ibu yang menjanda. “Meski tidak banyak lumayanlah untuk tambahan kebutuhan sehari-hari karena bapak kan sudah tidak ada ada,” katanya.

Tapi sudah kehendak Tuhan, tiba-tiba di terjadi gempa dan tsunami yang menghilangkan lahan garam miliknya seluas 1.200 meter yang selama ini sebagai sumber mata pencahariannya tersebut.

 Budiman Widyanarko, project officer  JMK-OXFAM, menjelaskan pihaknya  memiliki program yang bernama Emergency Food Security Venurable and Livelihood (EFSVL) atau ketahanan darurat pangan dan keberlanjutan penghidupan.  

“Jika mereka tidak segera bekerja dan berpenghasilkan, maka akan menganggu kelangsungan hidupnya.  Pada akhirnya akan memiliki dampak sosial yang lebih luas,” ujar Budiman.

Langkah awal yang dilakukan adalah mendata petani garam yang perlu mendapatkan bantuan atau manfaat dalam proyek ini. Dari hasil pendataan, JMK-OXFAM menetapkan 160 petani garam yang tergabung dalam 16 kelompok. “Kami sudah melakukan rapat koordinasi dengan para petani dan sudah melakukan assessment. “

Gandhi Wasono M.