Find Us On Social Media :

Gunakan Meriam Sebagai Tanda Hingga Libur Sekolah Sebulan Penuh, Begini Suasana Ramadan Saat Jaman Penjajahan di Indonesia

By None, Minggu, 19 Mei 2019 | 14:25 WIB

Gunakan Meriam Sebagai Tanda Hingga Libur Sekolah Sebulan Penuh, Begini Suasana Ramadan Saat Jaman Penjajahan

Grid.ID – Di bulan Ramadan seperti sekarang ini terutama di Indonesia selalu memiliki ciri khas tersendiri.

Mulai dari penjual takjil dadakan yang bermunculan menjelang senja hingga tradisi buka bersama keluarga dan teman yang memenuhi agenda selama bulan puasa.

Namun pernahkah kamu membayangkan bgaiamna suasa bulan Ramadan masyarakat Indonesia di era kolonial atau masa penjajahan dulu?

Baca Juga: Ingin Belanja Kebutuhan Ramadhan? Waspadai Hal Ini

Menurut dosen Sejarah IAIN Surakarta, Martina Safitry, ketika itu Belanda masih memiliki kontrol terhadap sistem pemerintah Indonesia.

Walau demikian, umat Muslim di Indonesia masih diberikan keleluasaan dalam menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan.

Sama seperti masa sekarang, perdebatan mengenai penentuan awal Ramadhan juga telah ada sejak dulu kala.

Pada masa sekarang, penentuan awal Ramadhan ditentukan dengan perhitungan hisab dan rukyat yang dipimpin Kementerian Agama.

Baca Juga: Misteri Kuno Berusia 2.000 Tahun, Guci Orang-Orang Mati ini Ditemukan di Laos

Namun, pada masa penjajahan pihak yang menentukan awal Ramadhan adalah Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau lebih dikenal Hoofdbestuur.

Meski demikian, ternyata dua organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) memiliki Hoffbestuur-nya sendiri.

Lembaga itu juga memiliki peran besar terhadap penentuan awal Ramadhan.

"Kedua belah pihak menentukan perhitungan dengan caranya masing-masing," kata Martina mengawali diskusi yang digelar Rumah Budaya Kratonan bekerja sama dengan IAIN Surakarta pada Sabtu (11/5/2019) sore.

Baca Juga: Ayu Ting-Ting Ketahuan Comot Foto Orang Saat Liburan di Turki, Pemilik Asli Beri Teguran Keras!

Kabar ini juga dipertegas dalam berita yang terekam dalam koran Berita Nahdlatul Ulama (BNO) edisi 1 November 1937 yang memuat maklumat Awal Ramadhan 1356 Hijriah.

Selain penetapan melalui mekanisme tersebut, ternyata awal Ramadhan juga disambut masyarakat dengan bunyi-bunyian yang sangat keras.

"Jadi dengan meriam, petasan, mercon dan anak-anak bikin menggunakan pelepah pisang. Pokoknya bunyian yang keras-keras untuk menandakan awal Ramadhan," ucap Martina.

Tak hanya ada di Jawa, tradisi seperti ini juga ada di Sumatera, terutama Sumatera Utara yang terdengar tiga kali tembakan meriam menandai awalnya bulan Puasa.

Baca Juga: Hujan Berlian di Planet Jupiter dan Saturnus, Jadi Rahasia Alam yang Terungkap!

Libur sekolah

Selain tradisi penentuan awal Ramadhan yang dikaitkan dengan bunyi-bunyian keras, ternyata pada masa penjajahan juga telah ada tradisi libur sekolah selama Ramadhan.

Pada masa Kolonial Hindia Belanda, ada wacana untuk meliburkan sekolah selama Ramadhan. Langkah ini merupakan usulan dari Dr N Adriani selaku Penasehat Urusan Bumiputra.

"Dr Adriani sangat memperhatikan umat Islam ketika itu dan memberi saran kepada Directuur Dienst der Onderwijs, Eeredienst an Nijverheid (Kepala Departemen Pendidikan, Keagamaan dan Kerajinan) untuk meliburkan sekolah-sekolah," ujar Martina.

Usulan ini akhirnya disetujui. Sekolah seperti HIS (Holllandsch-Inlandsch School), HBS (Hogere Burger School), AMS (Algemeene Middelbare School), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan lainnya diliburkan karena mayoritas muridnya beragama Islam.

Baca Juga: 4 Cara Eksekusi Kuno yang Dikenal Bengis dan Sangat Menyakitkan

Ketika masa libur, anak-anak menghabiskan aktivitasnya untuk melakukan banyak kegiatan seperti membantu orangtua, memancing ikan, shalat di masjid, mengaji, dan lebih banyak fokus terhadap kegiatan keagamaan.

Setelah momentum satu bulan dilaksanakan, tibalah saatnya pada hari yang begitu dinantikan, yaitu shalat Idul Fitri.

Pemerintah Kolonial baru mengizinkan shalat ied berjemaah secara terbuka untuk kali pertama pada 1929. Sebelumnya, umat Muslim melakukan shalat hanya berada di masjid kampung.

Belanda masih membatasi ruang lingkup umat Islam, apalagi jika jemaah berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.

Pihak Kolonial takut terhadap gerakan yang bisa memobilisasi massa, karena acara di tempat terbuka rentan mengancam pemerintah saat itu.

Baca Juga: Takjil Ini Viral di Sosmed, Penjualnya Bule Cantik

Baru setelah 1929, Pemerintah Kolonial memberikan kelonggaran kepada umat Muslim untuk melaksanakan shalat ied berjemaah.

Namun, Pemerintah Hindia Belanda yang memberikan tempat pelaksanaan shalat beserta jumlah jemaah.

Ini dilakukan untuk mengawasi agar kegiatan ibadah tak berubah menjadi aksi perlawanan.

"Salat ied dilaksanakan di lapangan terbuka Koningsplein atau Stasiun Gambir, Jakarta Pusat (kala itu masih bernama Batavia)," kata Martina.

Martina juga mengatakan, pada 1939 juga dilaksanakan shalat ied bersama di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dengan imam Hadji Muhammad Isa yang saat itu menjabat Ketua Hooft voor Islamietische Zaken (Mahkaman Urusan Agama Islam) dan khatib Hadji Mochtar anggota Hooft voor Islamietishe Zaken. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Ramadhan di Era Pemerintah Kolonial Hindia Belanda...".