Find Us On Social Media :

Buruk Rupa Tapi Penuh Harap, Festival Anak Bajang Jadi Kobaran Semangat Para Seniman di Tengah Pandemi

By Grid, Senin, 27 September 2021 | 09:28 WIB

Festival Anak Bajang

Grid.ID - Pandemi Covid-19 bukan lagi jadi halangan bagi para seniman untuk terus berkarya.

Meskipun ruang gerak para seniman sempat terbatas selama setahun lebih akibat pandemi, kini Festival Anak Bajang pun hadir dengan tujuan memberikan harapan.

Pertama, porakporandanya infrastruktur sosial, kesehatan dan ekonomi akibat pandemi, bukanlah akhir dari kehidupan.

Kedua, ambruknya sistem kekebalan tubuh manusia karena virus corona, justrumenantang sistem kekebalan yang lebih kuat.

Baca Juga: Selain Daerah Ini yang Penduduknya Dibayar Rp 140 Juta dan Diberi Rumah Gratis, Finlandia Juga Menjadi Negara Paling Bahagia di Dunia karena 4 Alasan Ini

Festival Anak Bajang mau menegaskan bahwa di balik bencana pandemi, ada simpul-simpul baru kehidupan.

Ada solidaritas dan kejenakaan yang tumbuh sebagai kunci untuk keluar dari semua persoalan.

“Anak Bajang”—sosok pewayangan yang menjadi tokoh dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin (1981)—sangat tepat disebut sebagai representasi buruk-rupanya dunia saat ini.

Dunia yang ditelanjangi pandemi, tetapi sekaligus dunia yang penuh harapan akan solidaritas menuju keceriaan baru.

“Anak Bajang” adalah gambaran dunia yang buruk rupa, tetapi penuh harapan.

Meskipun disingkirkan dan diabaikan karena buruk-rupanya, Anak Bajang menghadirkan keceriaan di tengah situasi putus asa. Anak Bajang selalu berikhtiar mencapai kesempurnaan.

Baca Juga: Pasang Badan dengan Orang yang Hina sang Istri, Rizky Billar Beri Tamparan Keras Pada Sosok yang Sebut Lesti Kejora Bermuka Tua: Cantik Akhlaknya

Pandemi COVID-19 telah menampakkan wajah dunia yang buruk-rupa itu. Namun di tengah serba buruknya dunia akibat pandemi, berkembang harapan.

Harapan akan kesembuhan dan kesehatan; harapan akan solidaritas untuk kehidupan yang lebih baik. Festival Anak Bajang mau mengusung pengharapan itu.

Festival Anak Bajang mengolah 3 pesan pokok, yaitu:1. Akibat pandemi, banyak orang kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan. Di antara yang paling terdampak pandemi adalah para seniman dan pekerja budaya. Mereka kehilangan ruang ekspresi. Festival Anak Bajang membuka kembali harapan akan ruang ekspresi bagi para seniman dan pekerja budaya, meskipun masih sangat terbatas akibat pembatasan protokol kesehatan (PPKM).

2. Festival Anak Bajang dilandasi keyakinan bahwa harapan akan dunia yang lebih baik— dunia yang keluar dari buruk-rupanya pandemi—harus diwartakan agar menjadi keceriaan bersama. Jurnalistik menjadi ujung tombak penyebaran harapan dan keceriaan itu. Festival Anak Bajang mengajak semua pihak, lebih-lebih para pekerja media, untuk tetap tangguh dalam menyebarkan optimisme.

3. Festival Anak Bajang menghadirkan sosok “Anak Bajang” sebagai sumber belajar. Belajar untuk menerima keadaan, belajar hidup sederhana, belajar untuk bersolidaritas dan terus memberi meski keadaan terbatas. Festival Anak Bajang mau menggambarkan sebuah proses belajar secara merdeka. Juga belajar untuk merdeka dari semua hambatan dan keterbatasan. Festival ini merupakan langkah awal Museum Anak Bajang dalam mendukung program Merdeka Belajar yang dicanangkan Kementerian Pendidikan,Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Baca Juga: Dinyinyir Abis Lantaran Suaminya Salah Kostum di Acara Lamaran Ria Ricis Gegara Kepepet Urusan Ini, Kartika Putri Akui Salahnya: Kesalahan Terletak pada Saya

Festival Anak Bajang diselenggarakan secara hybrid (online dan offline terbatas) pada Senin, 27 September 2021, oleh Museum Anak Bajang bekerja sama dengan berbagai pihak.

Festival diisi dengan:1. peresmian Museum Anak Bajang oleh Direktur Jendral Kebudayaan          Kemendikbudristek2. perayaan 40 tahun Anak Bajang Menggiring Angin, ditandai dengan peluncuran edisi cetak-ulang.3. peluncuran cerita bersambung Anak Bajang Mengayun Bulan4. pameran lukisan “Sukrosono” oleh Susilo Budi5. pentas tari oleh sanggar tari Bambang Paningron6. pementasan wayang “Sumantri Ngêngêr” oleh Ki Purwoko

(*)