Find Us On Social Media :

Cerita Putri Jenderal Ahmad Yani, Sembuhkan Trauma Peristiwa G30S/PKI dengan Hijrah ke Wilayah Pedesaan Ini Selama 20 Tahun, Tiap Jam 6 Pagi Langsung Turun ke Sawah

By Bella Ayu Kurnia Putri, Rabu, 29 September 2021 | 14:20 WIB

Amelia Achmad Yani, salah satu putri Jenderal Achmad Yani

Laporan Wartawan Grid.ID, Bella Ayu Kurnia Putri

Grid.ID - Peristiwa sejarah G30S/PKI tentunya masih segar diingatan mayarakat Indonesia.

Melansir dari Tribun Jabar, ada 7 perwira TNI yang diculik dan dibunuh dalam peristiwa G30S/PKI.

Peristiwa penculikan pada G30S/PKI ini dilakukan karena tudingan akan melakukan makar kepada Presiden Pertama Indonesia, Seokarno.

Jenazah para perwira yang gugur ini kemudiang dibuang ke dalam sumur yang disebut sebagai Lubang Buaya.

Salah satu perwira TNI yang gugur dalam peristiwa ini adalah Jenderal Ahmad Yani.

Jenderal Ahmad Yani terbunuh pada (1/10/1965) dini hari di rumahnya yang berada pada Kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Lalu melansir dari Tribun Makassar via Kompas.com melalui wawancara khusus wartawan Widianti Kamil, putri Jenderal Ahmad Yani, Amelia Yani pun menceritakan tentang kehidupannya.

Baca Juga: Jadi Saksi Bisu Tewasnya Jendral Ahmad Yani dalam Peristiwa Tragis G30S/PKI, Inilah Penampakan Rumah Sang Jendral yang Kini Dijadikan Museum

Demi menyembuhkan trauma peristiwa G30S/PKI, Amelian Yani bahkan memilih untuk hijrah ke pedesaan yang berada di wilayah Sleman, DIY.

Kepindahan putri Jenderal Ahmad Yani tersebut terjadi pada 1998.

"Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik," kata Amelia Yani.

Amelia Yani menetap di desa tersebut selama kurang lebih 20 tahun.

Bagi Amelia Yani, tinggal di desa berhasil melunturkan segala dendam, amarah, kebencian, dan penyakit hati lainnya yang selama ini dia rasakan.

"Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki. Itu hilang. Di desa, itu hilang," tuturnya.

"Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa. Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia," imbuhnya.

Baca Juga: Tempuh 140 Kilometer dari Yogyakarta Menuju Madiun, Pasutri Ini Hanya Ingin Mencari Jejak Makam Kakeknya yang Dulu Jadi Korban Pembantaian PKI

Di desa, kegiatan Amelia Yani sehari-hari berkutat dengan alam seperti ke sawah.

Saat tinggal di desa Amelian Yani bahkan juga mempunyai sawah, kolam ikan gurame hingga berbagai macam pohon buah-buahan.

"Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah. Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang," cerita dia.

"Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa," timpalnya.

Amelian Yani juga mengaku bahwa dia banyak bergaul dengan para petani.

"Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani. Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu. Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana," ujarnya.

Hingga akhirnya, setelah 20 tahun berada di pedesaan itu, Amelia Yani dan anaknya memutuskan untuk kembali ke Jakarta.

Baca Juga: Milenial Juga Harus Paham Sejarah! Ternyata Begini Sejarah Hari Kesaktian Pancasila, Masih Berkaitan dengan G30S/PKI

"Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil. Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta," pungkasnya.

 

 

(*)