Laporan Wartawan Grid.ID, Septiyanti Dwi Cahyani
Grid.ID - Gempa berkekuatan 7,4 SR yang mengguncang wilayah Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018) menimbulkan beberapa fenomena alam.
Tak hanya gelombang tsunami setinggi 1,5 meter yang menerjang Palu, Donggala dan Mamuju, gempa donggala juga menimbulkan munculnya lumpur pasca gempa.
Ya, seperti yang dikutip dari laman Bobo.id (1/10/2018), selain gempa dan tsunami beredar sebuah video yang menunjukkan munculnya lumpur mengalir di bawah rumah-rumah warga.
Dalam video berdurasi dua menit itu, terlihat rumah-rumah dan pepohonan bergerak hanyut dengan lumpur.
Melalui akun Twitternya @Sutopo_PN, Kepala BNPB itu menyebut bahwa ini merupakan fenomena likuifaksi.
Apa itu likuifaksi?
Baca Juga : Mengenal Ciri-ciri Tsunami, Bencana yang Baru Saja Menerjang Palu Akibat Gempa Donggala
Dikutip dari Wikipedia, pencairan tanah atau likuifaksi tanah adalah suatu fenomena tanah yang jenuh atau sebagian jenuh secara substansial kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan.
Biasanya disebabkan oleh gempa bumi yang bergetar atau atau perubahan lain secara tiba-tiba dalam kondisi menegang.
Sehingga menyebabkan tanah berperilaku seperti cairan atau air berat.
Dalam cuitan yang ditulis pada Minggu (30/9/2018) itu Sutopo menuliskan:
"Munculnya lumpur dari permukaan tanah yang menyebabkan amblasnya bangunan dan pohon di Kabupaten Sigi dekat perbatasan Palu akibat gempa 7,4 Sr adalah likuifaksi (liquefaction)
Likuifaksi adalah tanah berubah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatan".
Sementara itu, seorang ahli geologi dan anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia yang bernama Rovicky Dwi Putrohari mengatakan bahwa gempa menyebabkan kekuatan lapisan tanah menghilang dan tidak bisa menahan yang di atasnya.
Likuifaksi tanah ini kemudian menimbulkan longsoran.
Saat terlikuifaksi, tanah yang merupakan lapisan batu pasir ini tidak dapat menahan berat apapun yang berada di atasnya.
Baik itu berupa lapisan batuan maupun bangunan.
Munculnya lumpur atau likuifaksi ini bukanlah satu-satunya fenomena yang terjadi setelah gempa.
Melansir dari laman Kompas.com (1/10/2018), Grid.ID telah merangkum beberapa fenomena yang terjadi setelah peristiwa di Palu-Donggala.
Amplifikasi gelombang di teluk
Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT, Wahyu W Pandoe menyebut gempa donggala yang berkekuatan 7,4 SR itu memiliki energi sekitar2,5 x 10^20 Nm yang setara dengan 3 x 10^6 Ton-TNT atau 200 kali bom atom Hiroshima.
Baca Juga : Update Gempa Donggala: Hindari Penjarahan, SPBU dan Minimarket di Palu Dijaga Polisi dan Tentara
Wahyu menyatakan berdasarkan simulasi model analitik-numerik, Kora Palu-Kabupaten Donggala dan sekitarnya mengalami deformasi vertikal berkisar antara -1,5 sampai 0,50 meter.
"Daratan di sepanjang pantai di Palu Utara, Towaeli, Sindue, Sirenja, Balaesang, diperkirakan mengalami penurunan 0,5-1 meter dan di Banwa mengalami penaikan 0,3 sentimeter", kata Wahyu.
Gempa bumi ini berpusat di darat dengan sekitar 50 persen proyeksi bidang patahannya berada di darat dan sisanya di laut.
"Komponen deformasi vertikal gempa bumi di laut ini yang berpotensi menimbulkan tsunami", tandas Wahyu.
Longsor sedimen dasar laut
Pada Sabtu (29/9/2018), BNPB menyungkapkan bahwa tsunami terjadi karena dua sebab, yakni gempa berkekuatan 7,4 SR di Donggala dan adanya longsoran bawah laut.
Lalu, bagaimana kedua sebab itu berpadu dan menimbulkan tsunami?
Peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko menuturkan jika sesar Palu Koro memanjang dari daratan Sulawesi Tengah dan sepertiganya menjorok ke lautan.
Ketika terjadi gempa dengan mekanisme sesar geser, gelombang gempa dari episentrum di daratan dihantarkan ke sepanjang jalur sesar dan wilayah sekitarnya termasuk ke lautan.
Akibat penghantaran gelombang, wilayah di sekitar episentrum, terutama di sepanjang sesar bergetar kuat.
Di teluk Palu, bagian barat Sulawesi Tengah, gempa mengguncang dasar laut dan memengaruhi akumulasi sedimen yang ada.
"Ketika diguncang gempa, akhirnya sedimen itu runtuh dan longsor", kata Sutopo.
Widjo juga mengatakan jika skenario longsor itu sebenarnya masih berupa spekulasi.
"Perlu ada survei distribusi di lapangan dan pemetaan batimetri detail" katanya. (*)