Find Us On Social Media :

Tradisi Suku Chambri Melukai Kulitnya Agar Serupa dengan Buaya

By Seto Ajinugroho, Selasa, 16 Oktober 2018 | 21:05 WIB

Suku Chambri

Grid.ID - Suku Chambri Papua Nugini, negara di sebelah timur Indonesia ini rupanya masih mempunyai tradisi unik.

Suku Chambri asli Papua Nugini ini masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka.

Dikutip dari National Geographic Indonesia, Selasa (16/10) suku Chambri yang mendiami Provinsi Sepik Timur masih punya tradisi melukai (skarifikasi) kulit mereka.

Skarifikasi sendiri dilakukan ketika upacara pendewasaan diri bagi anak laki-laki usia 11 tahun suku Chambri.

Baca Juga : Seorang Pria Alami Mimisan, Setelah Diperiksa Dokter Ternyata Ada Parasit Bersarang di Hidungnya

Tujuan melukai kulit mereka sendiri supaya menyerupai kulit buaya.

Nagi suku Chambri, buaya adalah hewan yang amat dipuja.

Suku Chambri menganggap buaya adalah binatang spiritual dan simbolis.

Suku Chambri amat percaya jika buaya adalah pemangsa yang kuat.

Baca Juga : Ziona Chana, Pria Pemilik 39 Istri yang Sanggup Hidup Harmonis dalam Satu Rumah

Apalagi di tengah-tengah suku Chambri ada urban legend di mana zama dahulu ada seekor buaya yang berimigrasi dari Sungai Sepik ke darat untuk menjelma jadi manusia.

Prosesi ini berawal ketika anak usia 11 tahun dibawa ke 'rumah roh' oleh sanak keluarga mereka dan dibiarkan tinggal di sana selama enam minggu.

Selanjutnya ritual skarifikasi kulit dimulai.

Dalam skarifikasi ini kulit akan dipotong dan dilukai sehingga membentuk sisik layaknya buaya.

Proses pemotongan dan melukai kulit sendiri dulu menggunakan bambu yang sudah diasah.

Namun sekarang sudah menggunakan silet.

Baca Juga : Tubuh Seorang Ibu Babak Belur Ketika Melindungi Bayinya dari Hujan, Begini Kronologinya

Yang boleh melakukan skarifikasi ini sendiri adalah ketua adat suku Chambri.

Kulit mereka akan disayat sepanhang 2 cm.

Hal ini dilakukan secara berulang-ulang hingga membentuk pola di punggung, lengan, dada, dan bokong.

Tak ada anestasi dalam prosesi skarifikasi ini, jadi bisa dibayangkan betapa sakitnya kulit disayat berkali-kali oleh silet.

Lebih sakitnya lagi, skarifikasi tak bisa selesai dalam satu sesi saja.

Karena harus menunggu kulit yang disayat pulih lagi kemudian baru menyayat lagi, begitu seterusnya sampai membentuk pola yang diinginkan.

Untuk penghilang rasa nyeri akibat sayatan silet, maka anak-anak usia 11 tahun itu hanya boleh mengunyah semacam daun tanaman obat.

Usai menyayat kulit, mereka disuruh berbaring di dekat perapian sehingga hawa panas akan tertiup ke luka-luka bekas sayatan.

Setelahnya luka sayatan akan diolesi tanah liat dan minyak pohon.

Tujuannya agar luka tak terinfeksi bakteri.

Usai sembuh maka anak laki-laki bersangkutan akan mengenakan hiasan kepala dan perhiasan sebagai upacara bahwasanya mereka sudah dewasa.(*)