Parapuan.co - Kawan Puan, seiring berjalannya waktu makin banyak orang yang sudah mulai sadar akan kesehatan mental, ya.
Selain itu, informasi tentang kesehatan mental juga sudah dapat diakses oleh masyarakat luas, oleh sebab itulah banyak yang sadar akan hal ini.
Namun demikian, berdasarkan siaran pers yang PARAPUAN terima dari Riliv pada Senin (2/8/2021), hal ini masih belum sepadan dengan peningkatan kunjungan ke psikolog berlisensi atau tenaga profesional yang bergerak di bidang kesehatan mental.
Riset Kesehatan Dasar 2018 dari Kemenkes menunjukkan bahwa 6,1% masyarakat Indonesia mengalami depresi dan hanya sedikit di antaranya yang mendapatkan layanan kesehatan psikologis.
Baca Juga: Bagaimana Cara Merawat Vagina Pasca Melahirkan? Ini Tips dari Ahli
Padahal perlu kita tahu bahwa masalah kesehatan mental ini meningkat dengan adanya Covid-19.
Akan tetapi, ada orang yang tidak ingin datang karena alasan takut menerima stigma tertentu.
Masih dari sumber yang sama, berikut ini beberapa alasan orang takut ke psikolog untuk konsultasi masalah kesehatan mental.
1. Stigma sosial dalam masyarakat
Sejak lama, masyarakat Indonesia menganggap gangguan jiwa sebagai sesuatu yang tabu.
Kebanyakan dari mereka tidak ingin menjadi bahan pembicaraan orang lain sebagai seseorang dengan perilaku yang menyimpang dari norma sosial.
"Gangguan kesehatan mental itu bukanlah hal yang tabu, bukan pula aib. Sama seperti saat fisik kita kalau sedang terluka, capek, kadang butuh istirahat," ujar Della Nova Nusantara, M.Psi., seorang psikolog.
Ia pun melanjutkan, "Butuh treatment yang tepat sesuai dengan kebutuhannya saat itu mungkin istirahat mungkin olahraga."
Menurut Della, hal ini sama pula seperti kesehatan mental yang memerlukan perawatan yang tepat.
2. Kurangnya pemahaman kesehatan mental
Otomatis, anggapan bahwa gangguan mental itu tabu menandakan kesadaran orang Indonesia yang masih rendah tentang kesehatan mental.
Biasanya, hal ini ditunjukkan dengan orang-orang yang menyepelekan gangguan mental, karena tidak bisa dilihat secara gamblang layaknya penyakit fisik.
Kenyataannya, penyakit mental dan fisik sama-sama menimbulkan rasa sakit kepada penderitanya.
Bahkan dalam beberapa kasus, penyakit mental lebih mungkin untuk mengancam nyawa seseorang.
Baca Juga: Baik Mana, Mandi Air Dingin atau Mandi Air Panas? Ini Penjelasannya
3. Ketakutan tersendiri
Bagi beberapa orang, pergi ke psikolog adalah keputusan yang besar.
Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apa aku terlalu berlebihan, ya?” dan “Bagaimana kalau psikolog-nya tidak membantuku?”
Ketika Kawan Puan mulai meragukan diri sendiri dengan melontarkan pertanyaan seperti itu, yakinlah bahwa mencoba untuk pergi ke psikolog itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Menemukan psikolog yang cocok memang butuh waktu, tetapi setidaknya kamu akan berada selangkah lebih dekat dengan mengetahui apa yang terjadi dalam dirimu agar dapat membaik.
4. Minimnya akses psikolog
Menurut Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), jumlah psikolog klinis yang ada saat ini adalah 3.232.
Jumlah ini bisa dibilang sedikit apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki 106.500 psikolog.
Apalagi jumlah tersebut terpusat di Pulau Jawa.
Jika memang Kawan Puan tidak ada akses untuk mendatangi psikolog karena merasa ada gangguan mental, tak ada salahnya untuk mencoba konsultasi online.
Baca Juga: Apa yang Harus Dilakukan saat ASI Tidak Lancar? Ini Jawaban Ahli
5. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan
Selain keterbatasan akses psikolog, faktor biaya juga harus dipertimbangkan.
Kebanyakan psikolog mengenakan Rp150.000 sebagai biaya konsultasi, tapi sayangnya tidak semua orang dapat mengeluarkan uang sebesar itu.
Nah, yang harus Kawan Puan ketahui adalah BPJS kesehatan bisa memberikan akses psikolog ke rumah sakit terdekat.
Jadi jangan ragu untuk datang ke psikolog ya, Kawan Puan. (*)
Penulis | : | Anna Maria Anggita |
Editor | : | Rizka Rachmania |
KOMENTAR