"Sama saja seperti nyopir. Begitu bisa, seseorang yang tengah belajar nyopir, kan, pasti pingin terus nyopir,” tambahnya.
Dia mengatakan jika awalnya tentu menyenangkan memiliki pasangan dengan dorongan seks tinggi. Tapi lama-kelamaan, kan, pasangannya kewalahan dan merasa amat terganggu karena sangat menyita waktu dan energinya.
(BACA JUGA: Seksi Banget! Tubuh Jennifer Bachdim Istri Pesepak Bola Irfan Bachdim yang Masih Langsing Meski Punya 2 Anak)
Jadi, tegas ketua Dewan Pendidikan Yayasan Pondok Indah Don Bosco ini, bila kedua belah pihak merasakan dorongan/kebutuhan seksual yang sama-sama hiper, sebetulnya frekuensi yang tinggi tak perlu dipermasalahkan.
Baru dianggap jadi masalah bila salah satu menderita dibuatnya, lantaran dorongan seksual yang berlebihan tadi membuat pasangannya selalu minta dilayani atau malah mencemari hubungan suami-istri secara umum, semisal jadi ribut terus.
Bukankah berintim-intim harusnya diinginkan kedua belah pihak dan bisa saling memuaskan?
(BACA JUGA: Demi Hidup Glamor, Wanita Ini Rela Melayani Pesta Seks 3 Pria Sekaligus Bertarif Rp600 Ribu)
Ciri dan Penyebab Hiperseks
Memang, diakui Gerard, dengan melihat frekuensi hubungan seks bisa dilihat apakah seseorang hiperseks atau tidak, yakni bila frekuensinya melebihi ukuran normal.
Meskipun tolok ukur normal dan abnormal juga sangat individual, artinya berbeda pada tiap orang. Bagi pasangan A, misal, yang dikatakan normal mungkin cukup berintim-intim 1-2 kali seminggu.
Tak demikian dengan pasangan B, boleh jadi 3-4 kali seminggu baru dikatakan normal.
Nah, dari ukuran normal ini, bila terjadi peningkatan drastis, semisal jadi 3-4 kali sehari atau rata-rata 20 kali per minggu, barulah bisa dicurigai salah seorang di antara mereka menderita kelainan/gangguan seksual yang dinamakan hiperseks.
Penderitanya bisa pria, bisa juga wanita. (*)
Penulis | : | Ridho Nugroho |
Editor | : | Ridho Nugroho |