Laporan Wartawan Grid.ID, Ahmad Rifai
Grid.ID - Telegram telah menutup jalur publik yang dipakai untuk mengelola demonstrasi anti-pemerintah di Iran.
Dikutip wartawan Grid.ID dari RT, keputusan ini diambil setelah seorang menteri Iran menyebut layanan pesan bikinan Pavel Durov digunakan untuk memberi instruksi pembuatan bom molotov dan seruan mengangkat senjata.
Menteri Teknologi Informasi dan Komunikasi Iran, Mohammad-Javad Azari Jahromi, mengirim cuitan kepada si pendiri asal Russia.
"Arus komunikasi di Telegram mendorong perilaku penuh kebencian, pemakaian bom molotov, pemberontakan senjata, bahkan kerusuhan sosial."
"Sekarang adalah waktunya untuk mengehentikan dorongan tersebut melalui Telegram."
Merespon keluhan, Durov berjanji akan menyelidiki persoalan ini.
Dalam beberapa jam, saluran 'Amadnews' di Telegram akan dibekukan terkait pelanggaran aturan 'tidak ada seruan untuk kekerasan'.
Di akun Twitter pribadi, Pavel Durov menulis seperti ini.
(Baca juga: Hiii... Ngeri, Pria Ini Suka Memasukkan Hewan Beracun Ke Mulutnya, Ternyata Ini Bentuk Kasih Sayang?)
A Telegram channel (amadnews) started to instruct their subscribers to use Molotov cocktails against police and got suspended due to our "no calls for violence" rule. Be careful – there are lines one shouldn't cross. Similar case from October – https://t.co/OWQFBLywjr
— Pavel Durov (@durov) December 30, 2017
"Sebuah saluran Telegram (Amadnews) mulai menginstruksikan kepada pengikut untuk menggunakan bom molotov saat melawan polisi."
Saat ini, status mereka, "Ditangguhkan mengikuti aturan kami 'tidak ada seruan untuk kekerasan'."
"Hati-hati, ada garis yang tidak boleh dilewati, kasus serupa pernah terjadi dari bulan Oktober."
Telegram memungkinkan terjadinya komunikasi antar 2 individu.
(Baca juga: Sedang Berjalan Di Tengah Kota, Wanita Terperosok Dalam Lubang Berisi Air Panas Mendidih)
Selain itu, untuk sebuah saluran, mampu menyiarkan pesan secara bersamaan ke jutaan pengikut yang sudah melakukan subsribe.
Di Indonesia, Telegram sempat akan dilarang peredarannya.
Layanan pesan ini sungguh populer di Iran.
Kembali dikutip dari RT, ada lebih dari 20 juta pengguna di negara ini.
(Baca juga: Padahal Mau Menikah, Mempelai Wanita Malah Tewas Tertabrak Bus)
Di bulan September 2017, Iran menuntut Durov, menuduh Telegram telah memfasilitasi penyebaran paham terorisme, pornografi, dan sejumlah aktivitas ilegal.
Persoalan semakin runyam kala terjadi demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan harga pangan, korupsi, serta mengecam kepemimpinan politik di Iran.
Aksi ini setidaknya dimulai hari kamis (28/12/2017).
Dalam sebuah kesempatan di Twitter, Edward Snowden ikut bersuara dan melontarkan kritik kepada Telegram.
(Baca juga: Memforsir Diri Bekerja 120 Jam Seminggu, Seorang Karyawati Malah Terkena Radang Otak dan Meninggal)
"Telegram akan menghadapi tekanan yang bakal meningkat dari waktu ke waktu."
Ini adalah konsekuensi atas, "Kolaborasi dengan tuntutan Pemerintah Iran untuk ini dan itu."
"Hari ini, kita melihat seorang menteri komunikasi meminta sebuah saluran besar ditutup."
"Haruskah Telegram menutup 1 saluran di Iran untuk melestarikan akses terhadap yang lainnya?"
(Baca juga: Sebulan Penuh Bekerja Lembur Tanpa Libur, Karyawan Tewas Terkena Serangan Jantung)
"Sebagian besar akan mengatakan 'tentu saja'."
"Menjadi penting untuk menjaga agar semuanya sesuai demi ekosistem tetap hidup, bukan?"
Mantan karyawan National Security Agency (NSA) yang kini tinggal di Russia menyebut ini hanya permulaan.
Sebab, "Kamu tidak akan bisa mempertahankan sebuah layanan independen, menggoyahkan layanan agar tidak diblokir dalam suatu rezim otoriter.""
(Baca juga: Ngeri, Tubuh Seorang Perawat Terbelah Jadi Dua Dalam Kecelakaan Lift, Begini Kronologinya)
Snowden menyebut masalah paling utama adalah sifat terpusat dari sebuah aplikasi.
Kontrol sepenuhnya dikendalikan oleh sang pengembang, bersikeras bahwa mereka tidak akan pernah mengungkapkan data pengguna atau mematuhi permintaan ilegal sebuah pemerintahan.
Meski mencecar dengan kritik, sosok yang diburu pemerintah Amerika Serikat (AS) memberi sebuah rekomendasi yang mungkin sudah cukup terlambat.
"Telegram seharusnya bekerja untuk membuat saluran yang terdesentralisasi."
(Baca juga: VIDEO: Bikin Ngakak, Beginilah Aksi Kids Jaman Now yang Lagi Asik Ngedance, Netizen: Geli Lihatnya)
Dirinya juga bersikeras agar pengguna mendapatkan lebih banyak teknologi yang memungkinkan menghidar dari kontrol pemerintah.
"Pemerintah belajar perlahan, namun mereka tetaplah belajar."
"Akan datang suatu hari ketika semuanya akan terlambat untuk diperbaiki, dan saya takut itu lebih cepat dari yang kita perkirakan."
Simak rangkaian lengkap cuitan Edward Snowden di bawah ini.(*)
Many don't seem to understand why I object to @Telegram having unsafe, censorable public channels in an app that is promoted as a secure messenger. Some presumed I just don't understand how channels work. So let's talk about it:
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
Background: @Telegram has a special position in Iran. Its "public channels" are an important source of news for many low-tech users. Competing services are often blocked, but Telegram makes concessions to avoid this (like setting up local CDNs https://t.co/Lnec1oemsw ).
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
This is both a good and bad thing. On one hand, keeping people who don't understand and will never learn what Tor and VPNs connected to a big and difficult-to-moderate communications ecosystem is valuable, when the government largely has but two moves: "block" or "not block."
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
On the other, it means @Telegram will face increasing pressure over time to collaborate with the Iranian government's demands for this or that. Today we saw the communications minister demand a big channel be shut down. And here's where we start getting into complexity.
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
Should Telegram shut one Iranian channel down to preserve access to all the others? Most would say "of course." It's more important to keep that tether to their ecosystem alive, right? They're in something close to a monopoly position, where the fallback for many is unsafe SMS.
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
If we presume @Durov is acting morally, this might sound like an argument for Telegram to do whatever they can to keep their Iranian presence alive. But this is unsustainable, which he should know: after all, he was forced from Russia for not doing enough favors at Vkontakte.
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
You can't keep an independent, destabilizing service from being blocked in authoritarian regimes, you can only delay it. So you need to be thinking about how to continuing protecting people by making the service accessible *even after the block.*
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
And this is where we start getting to my core concerns. @Telegram has for years faced criticisms about the basic structure of its security by prominent cryptographers and technologists. Many defenses rely upon unbroken trust in a central authority (the company). "Trust us."
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
Trust us not to turn over data. Trust us not to read your messages. Trust us not to close your channel. Maybe @Durov is an angel. I hope so! But angels have fallen before. Telegram should have been working to make channels decentralized—meaning outside their control—for years.
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
We've seen some improvements, and that's not nothing. But not the revolutionary rework it needs. Telegram still seems to encourage dangerous cloud messaging instead of secret chats. Experts ask "why?" And the answer is "convenience." That's unsafe.
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
Governments are becoming more abusive, not less, on the internet, especially in places like Iran, China, and Russia. @Durov said @Telegram has 25,000,000 daily users in Iran. He could be converting them all to 2FA. He could be teaching them how to use Tor bridges. I hope he will.
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
Governments learn slowly, but they do learn. There comes a day when it will be too late to fix these problems, and I fear it is sooner than we think.
— Edward Snowden (@Snowden) December 30, 2017
Penulis | : | Ahmad Rifai |
Editor | : | Ahmad Rifai |