Grid.id – Baru-baru ini, pengguna media sosial dihebohkan dengan munculnya narasi berisi biaya tilang terbaru dan informasi seputar suap tilang.
Namun, informasi yang membuat heboh waganet bukan soal biaya tilang terbaru yang diumumkan, melainkan narasi bahwa Kepolisian mengerahkan anggotanya untuk memancing masyarakat untuk menyuap saat ditilang.
Narasi tersebut membuat warganet ramai-ramai me-mention akun resmi Divisi Humas Polri untuk meminta klarifikasi.
Baca Juga: Pakai Sabu, Selebgram Abdul Kadir Terancam Hukuman 4 Tahun Penjara
Minggu, (31/1/2021), Divisi Humas Polri melalui akun Instagram resminya @divisihumaspolri, melakukan klarifikasi secara tertulis. Melalui caption dan foto, pihak Kepolisian menyatakan bahwa informasi yang beredar lewat pesan berantai Whatsapp dan Facebook tersebut merupakan hoaks.
“Divisi Humas Polri memastikan bahwa informasi yang beredar itu adalah tidak benar atau hoaks! Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., tidak pernah memberikan instruksi atau perintah seperti informasi tersebut,” tulis akun @divisihumaspolri.
Jika melihat ke belakang, kasus hoaks seperti ini memang bukan hal yang baru. Berbagai berita palsu kerap dibuat untuk memancing kegelisahan publik.
Sepanjang pandemi, hoaks mengenai virus corona pun merebak. Situs kominfo.go.id mencatat per Agustus 2020 Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menemukan 1.028 hoaks tersebar di platform media sosial.
Meski sumir, masih ada saja masyarakat yang percaya dengan narasi-narasi seperti hoaks soal tilang dan virus corona.
Berasal dari faktor psikologis
Ternyata, ada alasan mengapa seseorang mudah percaya terhadap berita yang sensasional dan masif merebak tetapi belum tentu kebenarannya tersebut.
Alasannya, tak lepas dari faktor psikologis. Otak manusia lebih mudah terstimulasi oleh informasi mengenai hal yang tidak terduga, mengejutkan, dan bernada negatif. Selain itu, hoaks mudah dipercaya ketika sesuai dengan kepercayaan yang dimiliki.
Dikutip dari laman The Quint (1/7/2020), Psikolog klinis dan kepala kesehatan mental, departemen kesehatan mental dan ilmu perilaku dari Fortis La Femme, Dr Kamna Chibber menyebut, seseorang dapat lebih mudah terkena hoaks jika memiliki opini yang sejalan atau persepsi yang sama dengan berita tersebut.
"Jadi, ketika seseorang sudah memiliki kepercayaan atau informasi yang selaras dengan berita hoaks. Maka, tentu saja sangat sulit bagi mereka untuk menerima begitu saja bahwa informasi yang mereka yakini sama sekali tidak benar," kata Kamna.
Lebih lanjut, Kamna juga menyebut akan sulit bagi seseorang untuk membedakan antara fakta dan hoaks jika berita bohong selaras dengan pemikiran mereka. Situasi inilah yang akhirnya menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat, sebab salah satu pihak merasa opininya “diserang” secara personal.
"Ketika sesuatu (berita) sejalan dengan perasaan diri sendiri, dan ketika orang lain membantahnya, rasanya seperti (menyerang) pendapat secara pribadi, dan orang tidak selalu bisa membedakannya," tambahnya.
Mengutip dari artikel berjudul How Your Brain Tricks You Into Believing Fake News di laman Time, Kamis (9/8/2018). Berita hoaks mampu memenuhi dahaga akan keingintahuan masyarakat terhadap suatu isu.
Wray Herbert, Penulis buku On Second Thought: Outsmarting Your Mind’s Hard-Wired Habits dalam artikel tersebut mengungkapkan bahwa, adanya keinginan untuk mendapatkan konfirmasi instan akan isu tersebut menjadi alasan di balik maraknya berita hoaks di kalangan masyarakat.
“Anda tidak mungkin meluangkan waktu untuk memeriksa dan membedakan masing-masing produk Yogurt (istilah untuk berita hoaks),” kata Herbert.
Membedakan berita hoaks
Agar tidak mudah percaya, ada beberapa tips sederhana yang bisa kamu terapkan saat menerima informasi ketika mendapat berita hoaks.
1. Cek emosi
Ketika membaca berita tersebut, bagaimana reaksi yang muncul di dalam benak? Apakah muncul rasa cemas, emosi, atau justru perasaan gembira? Sebab, berita hoaks kerap muncul untuk mengganggu pikiran rasional dengan daya tarik emosional.
2. Kenali pesannya
Ketika menemui berita hoaks, jangan langsung mengambil kesimpulan setelah menonton atau membaca. Sebaliknya, simpulkan dahulu isi berita tersebut, apakah berita tersebut “too good to be true” atau justru terang-terangan menjelekan pihak tertentu.
Perhatikan pula intonasi atau huruf kapital pada berita tersebut, apakah ada kesan penekanan yang menggiring opini atau tidak. Hal ini juga bertujuan untuk menekan bias atau kesalahan persepsi di dalam diri sendiri.
3. Cari berita yang relevan
Setelah melihat berita tersebut, pastikan untuk melakukan double checking dengan mencari topik berita yang relevan. Bisa melalui media online maupun mencari riset serupa.
Jika berita senada tidak ditemukan, cobalah untuk mencari asal dari berita tersebut. Waspadai jika artikel atau video berasal dari laman media sosial selain akun resmi, tidak memiliki tanggal pemberitaan dan lokasi lengkap, serta tidak memiliki narasumber.
Selain ketiga cara tersebut, akan lebih bijak jika kamu tidak langsung menyebarkan berita yang diterima lewat pesan berantai di media sosial tanpa melakukan verifikasi.
Selalu bersikap skeptis dan membiasakan diri mengecek kebenaran setiap informasi akan melindungi dirimu dan orang lain dari berita hoaks.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |