Ika Vihara: Menulis adalah Cara Terbaik untuk Mencintai Diri Sendiri
Grid.id - Enam tahun, enam buku.
Pencapaian yang luar biasa bagi orang dengan gangguan kecemasan seperti Ika Vihara, seorang penulis novel yang telah memiliki penggemar tersendiri.
Sebagai seseorang yang tidak bisa menulis dengan mengandalkan mood atau suasana hati, dia harus membuat jadwal detail—di antara pekerjaan dan kesibukan yang lain—kalau ingin bisa menyelesaikan sebuah naskah.
Membayangkan harus menulis naskah 200 halaman membuatnya sering cemas setengah mati dan tidak bisa memulai.
Tanpa jadwal dan pemecahan pekerjaan yang jelas, tidak mungkin akan ada karya sebanyak itu yang terbit (bulan depan akan terbit buku baru berjudul The Promise of Forever di penerbit Elex Media).
Kecemasan jugalah yang membuatnya memilih menulis genre romance.
Genre paling aman yang memungkinkan untuk membuatnya fokus membahas elemen yang sangat penting dalam kehidupan ini: hubungan kita dengan keluarga, sahabat, kekasih.
Genre ini juga tak memantik kecemasan dalam dirinya seperti halnya misteri, fantasi, science fiction, dystopian dan lain-lain.
Sebagai seorang penulis, Ika Vihara memiliki syarat untuk bukunya sendiri. Poin-poin penting dalam tulisannya harus mengandung:
Happy ending, karena ending yang menggantung atau menyedihkan baginya adalah suatu bentuk kejahatan.
Tokoh sudah berjuang keras selama 200 halaman, masa tak dapat ganjaran kebahagiaan?
Dunia baru. Novelnya yang berjudul My Bittersweet Marriage (Elex Media, 2019) menceritakan kehidupan seorang microbiologist, The Game of Love (Elex Media, 2019) menceritakan kehidupan seorang entertainment software engineer, The Perfect Match (Elex Media, 2021) menceritakan kehidupan kandidat doktor yang menginisiasi kelas inklusi.
Tema yang beragam.
Pernikahan, cinta, abandonment issue, dan STEM, adalah contoh beberapa hal yang diangkat dalam bukunya. Pengetahuan-pengetahuan baru.
Sudut pandang baru terhadap cinta dan kehidupan.
Cerita yang manis, logis, romantis, dan realistis.
Lewat buku, Ika mengingatkan agar kita mengenal dan mencintai diri sendiri dulu, sebab itulah perkara mendasar.
Sama seperti mustahil menuang dari teko yang kosong ke cangkir, kita tidak bisa memberi cinta jika diri kita belum terisi dengan cinta.
Sumber cinta yang paling dekat adalah diri sendiri.
Karena itulah sosok yang tak akan pernah meninggalkan kita.
Tak akan pernah berhenti mencintai kita.
(*)
Penulis | : | Grid |
Editor | : | Irene Cynthia |