Tibbets bahkan mengatakan bahwa bila terjadi keadaan yang sama, ia akan mengulanginya.
Bicara soal aksinya dalam penugasan itu, Tibbets mengingat jatuhnya hulu ledak nuklir di Jepang dengan mengatakan ia dapat tidur nyenyak setiap malam' setelah bom nuklir pertama di dunia dijatuhkan.
Dalam sebuah wawancara pada tahun 1975, Tibbets berkata, "Saya bangga bahwa saya dapat memulai dengan cuma-cuma, merencanakannya, dan membuatnya bekerja dengan sempurna sebagaimana mestinya... Saya tidur nyenyak setiap malam."
Menindaklanjuti komentarnya tentang kengerian bom atom, Tibbets memberikan wawancara kedua di mana dia berbicara tentang gejolak 'emosional' yang ditimbulkannya.
Jenderal mengatakan bahwa dia tahu itu adalah pembunuhan masal, tetapi dia ingin memastikan perang selesai secepat mungkin.
"Saya tahu ketika saya mendapat tugas bahwa itu akan menjadi hal yang emosional.
Kami memiliki perasaan, tetapi kami harus meletakkannya itu di belakang. Kami tahu itu akan membunuh orang kanan dan kiri.
Tapi satu-satunya minat saya adalah melakukan pekerjaan terbaik yang saya bisa sehingga kami bisa mengakhiri pembunuhan secepat mungkin," tutur Paul Warfield Tibbets dalam wawancara pada tahun 2005, dikutip dari Daily Star.
Jenderal Tibbets secara blak-blakan pada peringatan Enola Gay, menyebutnya sebagai 'penghinaan besar' bagi Museum Smithsonian untuk memasukkan konteks penderitaan yang disebabkan oleh pemboman itu.
Menurut buku Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb, Tibbets dikatakan "jarang memikirkan apa yang mungkin terjadi' dalam penerbangannya, dan demikian pula dengan jatuhnya Bom Kecil.
Paul Warfield Tibbets meninggal dunia pada 1 November 2007.
Source | : | Tribunstyle |
Penulis | : | None |
Editor | : | Ulfa Lutfia Hidayati |