Find Us On Social Media :

Jangan Bangga Dulu, Bisa Jadi Hape Keren Kamu Hasil Eksploitasi Buruh Anak, Ini Penjelasannya

By Kama, Senin, 1 Mei 2017 | 23:34 WIB

Eksploitasi Buruh Anak di Kongo

Grid.ID - Mungkin saat ini kamu lagi baca berita ini lewat smartphone canggih seharga jutaan bahkan belasan juta rupiah.

Sebagai informasi, hape terdiri dari banyak sekali komponen pendukung di dalamnya.

Salah satu bahan baku untuk membuat komponen hape adalah kobalt.

(BACA JUGA: Kisah di Balik Hari Buruh 1 Mei, dari Memuja Dewa Bunga, Hari Katolik, Penyebaran Komunis, Sampai Kerusuhan)

Kobalt digunakan sebagai bahan baku baterai lithium pada smartphone yang kita gunakan sehari-hari.

Beberapa vendor kawakan seperti Apple, Samsung, dan Microsoft, terindikasi menggunakan baterai lithium dari kobalt hasil ekspoitasi anak-anak di Kongo.

Lebih dari 40.000 anak di Republik Demokratis Kongo harus memikul berkilo-kilo hasil tambang kobalt setiap hari.

Pekerjaan itu dilakukan 12 jam penuh untuk upah maksimal 2 dollar AS atau setara Rp 27.000!

(BACA JUGA: Bunga untuk Ahok-Djarot Dibakar Buruh, Balaikota Diultimatum untuk Bersihkan Karangan Bunga)

Salah satu dari mereka adalah yatim 14 tahun bernama Paul.

Sudah dua tahun ia bekerja di tambang kobalt.

Sejak itu, ia rutin sakit karena beban kerja yang tak manusiawi.

"Saya bisa bekerja 24 jam penuh, datang pagi dan pulang keesokan paginya,” kata dia, sebagaimana tertera pada situs resmi lembaga pegiat hak asasi Amnesty USA, dan dihimpun KompasTekno, Rabu (20/1/2016).

“Ibu angkat saya ingin saya sekolah, tapi ayah angkat saya memaksa saya bekerja di tambang," lanjutnya.

(BACA JUGA: Eh, Gempita Juga Kirim Karangan Bunga Untuk Ahok dan Djarot Loh! Ini Dia Kata-kata Lucunya)

Eksploitasi anak menjadi lumrah di Kongo.

Utamanya di industri-industri pertambangan kobalt.

Negara di Afrika Tengah tersebut memang dikenal sebagai produsen kobalt terbesar di dunia.

Salah satu yang terbesar adalah Huayou Cobalt.

Huayou menyuplai kobalt ke tiga perusahaan komponen baterai lithium.

Masing-masing adalah Ningbo Shanshan dan Tianjin Bamo dari China, serta L&F Materials dari Korea Selatan.

(BACA JUGA: Seperti Pertanda, Status Facebook Terakhir Siti Masitoh Korban Kecelakaan Puncak, Isinya 'Melayang-Layang')

Pada 2013 lalu, ketiga perusahaan tersebut membeli lebih dari 90 juta dollar AS atau setara Rp 1,2 triliun kobalt dari Huayou.

Lalu, bagaimana dengan vendor-vendor smartphone yang menikmati proses akhir dari kobalt?

Keuntungan mereka masing-masing mencapai puluhan miliar dollar AS per tahun.

Jauh dari upah maksimal 2 dollar yang diterima anak-anak di Kongo.

Setahun saja, mereka paling banter meraup 712 dollar AS atau setara Rp 9,9 juta.

Nggak sampai 3 kali UMR Jakarta.

Ketimpangan antara kesejahteraan anak-anak di Kongo dengan vendor-vendor smartphone itu memicu Amnesty International mengkritisi proses yang terjadi selama ini.

"Industri tambang adalah tempat kerja terburuk bagi anak-anak, mengingat bahaya kesehatan dan keamanan yang ditimbulkan," kata tim peneliti dari Amnesty International Mark Dummet.

"Perusahaan-perusahaan dengan keuntungan total 125 triliun dollar AS tak bisa mengklaim mereka tak mampu mengecek dari mana komponen-komponen produk mereka berasal," ia menambahkan.

(BACA JUGA: Dulu Jadi Bom Seks, Sekarang Artis Ini Tampil Dengan Hijab Syar’i dan Ganti Nama)

Setidaknya ada 16 perusahaan teknologi yang dimaksud Dummet, yakni Ahong, Apple, BYD, Daimler, Dell, HP, Huawei, Inventec, Lenovo, LG, Microsoft, Samsung, Sony, Vodafone, Volkswagen dan ZTE.

Melalui jalur diplomasi, Amnesty International dan Afrewatch meminta pemerintah menetapkan regulasi yang mengikat.

Mulai dari jejeran industri tambang, penyuplai, hingga pabrikan smartphone.

"Tanpa hukum yang mengharuskan perusahaan mengecek dari mana sumber komponen, mereka akan terus mengambil keuntungan dari penindasan hak asasi manusia. Pemerintah harus bertindak," kata Dummet.

Memang tidak menutup bahwa di Indonesia masih ada buruh anak juga.

Tapi paling tidak nasib buruh di sini sudah lebih baik, meski masih banyak yang harus diperbaiki. (*)

(Penulis: Fatimah Kartini Bohang/Kompas.com)