Find Us On Social Media :

Pejabat Itu Pelayan atau Juragan Rakyat? Ini Sederet Arogansi Pejabat atau Keluarganya di Tengah Rakyat

By Hery Prasetyo, Jumat, 7 Juli 2017 | 00:39 WIB

Mereka berlaku arogan dan mengatasnamakan 'pejabat'.

Grid.ID - Mentalitas feodalisme ternyata masih mengakar di negeri ini.

Di era feodal, pejabat atau priyayi memang dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi daripada rakyat.

Pejabat dan priyayi memiliki privelis lebih dibanding rakyat.

Namun, sekarang zaman modern dan rakyat adalah raja dan pejabat tak ubahnya pelayan rakyat.

Mereka digaji dan dipercaya rakyat menjalankan fungsi kepejabatannya atau fungsi-fungsi pelayanan publik.

Namun, mentalitas feodal ternyata belum sirna juga.

Banyak kasus reaksi atau tindakan pejabat atau keluarganya yang merasa memiliki privelis lebih.

Sehingga mereka mudah marah dan bereaksi berlebihan, karena merasa pejabat atau keluarga pejabat.

Berikut sederet kasus arogansi pejabat atau keluarganya di tengah kehidupan rakyat.

6. Mengaku anak jenderal bentak Polwan

Pada 6 April 2016, publik heboh oleh seorang siswi SMA di Medan yang membentak dan menunjuk-nunjuk polwan.

Saat hendak ditilang polisi karena melanggar aturan lalu lintas, ia justru marah-marah ke polwan.

Siswi yang bernama Sonya Ekarina Depari itu adalah siswi SMA Methodist 1, Jalan Hang Tuah, Medan Provinsi Sumatera Utara.

Siswi ini memarahi polwan hendak ditilang karena menggelar konvoi, Rabu (6/4/2016) usai mengikuti ujian nasional (UN).

Saat konvoi berlangsung, polisi menghentikan sebuah mobil Honda Brio karena membuka kap belakangnya di Jalan Sudirman dekat Hotel Polonia.

Ia marah-marah kepada Ipda Perida Panjaitan yang hendak menilang.

"Oke Bu, saya tidak main-main ya, saya tandai Ibu. Saya anak Arman Depari," katanya dengan menunjuk-nunjuk polwan tersebut.

Ipda Perida hanya membalas kata-kata wanita cantik tersebut dengan kata,"Ia....ia....ok ya...," katanya.

Saat wartawan konfirmasi lagi, apakah ia benar anak Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjend Arman Depari, ia tidak menjawab, hanya diam dan menutup wajahnya.

Usai ribut-ribut Ipda Perida membiarkan para siswi tersebut pergi.

Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjen (Pol) Arman Depari membantah siswi yang memarahi Polwan Ipda Perida Panjaitan di Medan Sumatera Utara adalah putrinya.

"Anak saya tidak ada perempuan, yang diberitakan itu bukan anak saya. Tiga orang anak saya laki-laki dan tinggal di Jakarta semua," kata Arman ketika dikonfirmasi Tribunnews.com, Rabu (6/4/2016) malam.

Meski bukian anak pejabat, Sonya menunjukkan punya mentalitas feodal yang seolah-olah bebas berbuat dan melanggar aturan karena anak pejabat.

5. Pasha Ungu Berubah

Sigit Purnomo alias Pasha Ungu menunjukkan perubahan setelah menjadi pejabat, yakni Wakil Walikota Palu.

Sempat menjadi viral di media sosial, Pasha Ungu dianggap melecehkan pers.

Ia sempat menolak diwawancara wartawan dengan kata-kata pedas.

“Saya ini sekarang sudah pejabat, bukan lagi artis. Kamu orang cuma kontributor ‘kan?”

Kata-kata itu dituturkan oleh Ridwan Lapasere, jurnalis yang mengalami kejadian itu.

Mungkin dia ingin dihormati lebih karena pejabat.

4. Balada Jas Pak Dirjen

Pada pertengahan 2016, Dirjen HAM, Mualimin Abdi melayangkan gugatan ke Budi Imam, pemilik Fresh Laundry.

Dia merasa dirugikan karena jasnya berkerut dan tidak licin.

Menurut pengakuan pemilik laundry, sesuai dengan kebijakan bahwa bila ditemukan kerusakan akibat laundry maka akan diberikan ganti rugi sebesar 350 ribu atau 10 x tarif cuci.

Namun Pak Dirjen tidak berkenan dan memilih untuk membawa ke meja hijau dengan tuntutan 10 juta kerugian materi dan 200 juta kerugian imaterial.

3. Kemarahan Bupati

Pada 2013, Bupati Indragiri Hulu Yopi Arianto mengancam akan mengerahkan massa untuk berdemo.

Ini karena DPRD meminta Kapolres untuk menindak tegas Bupati yang touring dan mengunjungi warga tanpa memakai helm.

“Saya tidak memakai helm karena saya menyapa masyarakat saya. Saya mengendarai motor di pedesaan, bukan di perkotaan. Masa begitu saja dikomentari,” katanya.

2. Penamparan pejabat

Penamparan pejabat kepada petugas bandara juga pernah terjadi di Bandara Internasional Sultan Syaraif Qasim II Pekanbaru.

Wakil ketua Ombudsman, Azlaini Agus memarahi dan menampar salah seorang petugas PT Angkasa Pura bernama Yana Novita.

Permasalahannya karena penerbangan mengalami keterlambatan.

Ia tak bisa menahan emosi ketika diminta menunggu bus untuk ke pesawat selama 20 menit.

Menurut penuturan Azlaini, apa yang dilakukannya saat itu adalah cerminan dari sikap tegasnya yang tanpa kompromi dan kukuh bahwa dia hanya marah, menunjuk, dan tak sadar menyentuh pipi petugas.

Dia juga membantah telah menampar.

Dalam konferensi pers di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (29/11/2013), Azlaini mengatakan pada saat kejadian dirinya hanya menegur dan menunjuk seorang petugas bandara karena tidak bisa menjelaskan terkait keterlambatan jadwal penerbangan.

Ia mengakui pada saat menunjuk, jarinya secara tidak sengaja sempat menyentuh pipi si petugas bandara tersebut.

"Saya tidak menampar, saat saya tunjuk tidak sengaja terkena pipinya," katanya seperti dikutip tribunnews.com.

1. Istri Jenderal Tampar Petugas Bandara

Aksi ibu-ibu main tampar petugas Bandara Sam Ratulangi Manado, jadi viral.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun mengecam aksi itu lewat statusnya di media sosial.

Publik pun ikut berang, apalagi dengan kabar bahwa ibu-ibu itu ternyata seorang istri jenderal atau pejabat.

Ternyata pelaku adalaj istri dari seorang polisi berpangkat Brigadir Jenderal.

Suaminya bertugas di Lemhanas Jakarta.

Di Twitter, informasi ini santer dibagikan oleh netizen.

" >

Kabar menyebut, wanita itu adalah istri dari Brigjen S.

Lebih memprihatinkan, di situs resmi Lemhanas RI, Brigjen S bekerja di bidang pendidikan.

Di sejumlah portal berita Indonesia, Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Polisi Setyo Wasisto, membenarkan soal informasi ini.

“Benar itu memang istri dari Pak Sumampouw yang kini tengah berdinas di Lemhanas,” kata Setyo, dikutip dari situs Rappler.

Selain kabar ini, di media sosial juga beredar foto paspor pelaku.

Dalam paspor disebutkan, pelaku bernama Joice Onsay Warouw.

Dia lahir di Treman, Minahasa Utara, pada 20 Januari 1971. (*)