Anindito mencontohkan, fleksibilitas dalam penamaan nomenklatur sekolah tidak disebutkan dalam RUU Sisdiknas, tapi pada peraturan di bawahnya. Dengan demikian, ada relaksasi jika ada perubahan nama.
Sebagai contoh, sekolah menengah kejuruan (SMK) jika ingin diubah menjadi sekolah menengah vokasi bisa lebih mudah sesuai kebutuhan perkembangan.
Demikian pula tidak adanya penyebutan madrasah, bukan berarti menghapus mandrasah, tetapi hal tersebut diatur di peraturan yang lebih teknis.
Ketua Umum Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Muhammad Ali Ramdhani menyambut semangat kemerdekaan dan fleksibilitas dalam RUU Sisdiknas.
Namun, menurut dia, semangat ini perlu diwaspadai karena bisa membuka kerentanan baru terhadap pendidikan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, berlawanan dengan prinsip beragama yang moderat, serta memberi peluang kepada kelompok tertentu untuk membangun kekuatan baru bagi tumbuh suburnya radikalisme dan ekstremisme.
Ramdhani menyoroti pendidikan nasional perlu menguatkan kesejahteraan siswa.
Penguatan fundamental untuk kesejahteraan individual dan sosial ini bisa dengan memperkuat literasi keagamaan agar peserta didik mampu mengatasi tekanan hidup dalam perkembangan dan perubahan yang cepat.
”Well-being ini harus jadi bagian kokoh dalam pendidikan, salah satunya dengan religious literacy,” kata Ramdhani.
Penyesuaian Cepat
Pakar pendidikan Universitas Terbuka, Tian Belawati, mengatakan, pada era digital ini perubahan berlangsung cepat sehingga butuh penyesuaian dalam waktu singkat.
Perkembangan lanskap dunia kerja yang berubah, termasuk kebutuhan literasi lain dan keterampilan baru, untuk mendukung anak didik menjadi pembelajar sepanjang hayat atau pembelajar mandiri.
Menurut Tian, pandemi Covid-19 jadi momentum untuk membuka sistem pendidikan nasional menuju perubahan yang lebih baik.