Find Us On Social Media :

Mengulik Kondisi Perdagangan Kelapa Sawit Nusantara yang Sedang Terpuruk Bersama Kompas Talks, Siapa yang Harus Disalahkan?

By Ragillita Desyaningrum, Jumat, 22 Juli 2022 | 15:05 WIB

Kompas Talks membahas Kondisi Perdagangan Kelapa Sawit Nusantara, digelar secara daring pada Kamis (21/7/2022).

Laporan Wartawan Grid.ID, Ragillita Desyaningrum

Grid.ID – Walau menjadi produsen terbesar di dunia, industri kelapa sawit Indonesia kini sedang tidak baik-baik saja.

Diketahui bahwa harga tandan buah segar (TBS) petani sawit per 23 Juni 2022 ada di angka Rp1.150 per kilogram dan petani bermitra Rp2.010 per kilogram.

Bahkan, harga TBS sempat jatuh di angka Rp400-600 kilogram, padahal sebelumnya bisa melebihi Rp3.000 per kilogram.

Dari dalam negeri, masalah ini dipicu oleh kebijakan ekstrem pemerintah Indonesia yang menerbitkan larangan ekspor CPO dan produk turunannya pada April 2022.

Dikutip dari Kompas.id, larangan ekstem ini terjadi karena adanya mispresepsi yang mengira produsen minyak goreng kekurangan pasokan bahan baku CPO sehingga harganya mahal.

Pemerintah kemudian memberlakukan beberapa instrumen kebijakan yang bahkan berubah-ubah dalam kurun waktu dua bulan.

Misalnya adalah menentukan harga eceran tertinggi (HET), domestic market obligation (DMO), dan domestic price obligation (DPO) bagi produsen CPO.

Kebijakan ini kemudian berdampak luar biasa karena harga tandan buah segar (TDS) turun drastis hingga pabrik kelapa sawit tidak mampu membeli TDS.

Baca Juga: Kompas Talks: Diskusi Strategi Daerah Hadapi Aids Selama Pandemi

Pada akhirnya, ekspor CPO juga tersendat dan kontrak penjualan sulit disepakati karena pasar menunggu adanya kejutan kebijakan lagi.

Dalam sesi Kompas Talks yang diselenggarakan Harian Kompas pada Kamis (21/7/2022) secara online, Gulat Medali Emas Manurung selaku Ketua Umum DPP APKASINDO menyebutkan bahwa harga TBS yang anjlok sangatlah wajar.

“Itu wajar karena memang kita tidak bisa melakukan ekspor, sementara prosessing di PKS tetap berjalan, panen petani tetap dilakukan sehingga semuanya menumpuk. Mengakibatkan banjirnya stok dan kita tidak bisa mengeluarkan TBS tersebut,” jelas Gulat.

Sayangnya, setelah larangan ekspor telah dicabut, harga TBS petani sawit pun tidak semakin baik dan tidak bisa kembali seperti semula.

Sementara itu, Ekonom dan Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung menyinggung bahwa stock TBS yang melimpah di Indonesia juga akan berdampak pada harga CPO dunia.

“Harga CPO dunia sudah tren turun karena dunia melihat kita punya stock yang sangat luar biasa yang akan masuk pasar. Nah ini akan membawa sentimen harga CPO dunia,” ujar Tungkot.

Oleh karena itu, Tungkot mendorong pemerintah untuk segera membuat kebijakan yang dapat menyelamatkan industri kelapa sawit nusantara.

Menurut Tungkot, diperlukan kebijakan untuk mengosongkan tanki timbun domestik dengan cara mempercepat dan memperlancar ekspor.

Namun, di saat yang bersamaan, pemerintah juga perlu membuat kebijakan agar penyerapan di dalam negeri juga lebih tinggi.

Baca Juga: Dear Kamu yang Masih Suka Insecure! Yuk Join di Kompasfest 2022 bertajuk 'Freedom'

Pasalnya, Tungkot berpendapat bahwa jika hanya dilakukan percepatan ekspor, ada potensi harga CPO dunia turun drastis.

“Kita harus segera mengkosongkan tanki domestik dengan memperlancar ekpor tapi juga dibarengi dengan penyerapan yang lebih tinggi di dalam negeri supaya harga CPO tidak jatuh yang akhirnya membalik harga TBS,” ujar Tungkot.

Selain itu, untuk menghadapi tantangan di masa depan, petani sawit Indonesia diharapkan dapat meningkatkan produktivitas.

Pasalnya, dalam satu dekade terakhir, data menunjukkan bahwa tingkat produktivitas lahan kelapa sawit yang dimiliki oleh Perkebunan Rakyat (PR) relatif lebih rendah dibandingkan Perkebunan Besar Swasta (PBS).

“Tahun 2010 produktivitas PR sebesar 2,5 ton/ha sedangkan PBS sebesar 2,99 ton/ha. Tahun 2021, produktivitas PR relative stagnan pada 2,75 ton/ha sedangkan produktivitas PBS meningkat menjadi 3,94 ton/ha,” papar Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan dan Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO.

Menanggapi hal ini, Gulat tak menampik bahwa produktivitas petani sawit adalah yang paling rendah.

Namun, pihaknya menyebut akan terus berupaya mengejar ketertinggalan tersebut dengan mengiktui program peremajaan sawit.

“Yang paling rendah produktivitasnya itu adalah petani sawit itu benar. Oleh karena itu, kami tetap mengejar ketertinggalan ini, kami tidak mau cengeng dan merajuk, tapi kami telah mengikuti peremajaan sawit rakyat bahwa hanya dengan replanting kami bisa naik kelas,” pungkas Gulat. (*)