Find Us On Social Media :

Kisah Pembelot Korea Utara, Melarikan Diri dan Makan Tikus Demi Bertahan Hidup

By Aditya Prasanda, Selasa, 12 Juni 2018 | 10:39 WIB

Grace Jo melarikan diri dari Korea Utara demi hidup yang lebih baik

Grace Jo lahir di Korea Utara dan ia kehilangan sebagian besar keluarganya akibat kelaparan. Melalui pelarian yang dramatis Jo kini menetap di AS

Grid.ID - Selasa (12/6/2018) Korea Utara tengah melakukan pertemuan bersejarah dengan Amerika Serikat -- negara yang kini Grace Jo anggap sebagai rumah.

Korea Utara, negara tempat ia dilahirkan mengguratkan trauma mendalam bagi Jo dan keluarganya, ia mengenang masa-masa sulit demi bertahan hidup di negara pimpinan dinasti Jong Un tersebut.

"Saat itu saya duduk di pinggir jalan, bersama keluarga saya kami menjual ikan kering dan kami tidak makan nasi," kenangnya.

Detik-detik Momen Bersejarah Pertemuan Kim Jong Un dan Donald Trump

Ia masih ingat betul betapa kelaparan membawanya begitu dekat dengan maut, sedekat urat nadi di lehernya "Aku merasakan kelelahan yang teramat, lelah dan tidak ada tenaga sama sekali."

Seperti kebanyakan anak muda Korea Utara, Jo tumbuh dalam kelaparan.

Pertengahan 1990-an, kelaparan melanda Korea Utara dan menyebabkan jutaan orang tewas.

Jo mengaku hanya makan sekali dalam seminggu.

35 Tahun Menghilang, Anggota AU AS Ditemukan Kembali

Terkadang jika beras tak terbeli, Jo dan keluarganya menangkap bayi tikus di tanah.

Akibat kelaparan yang teramat, ayah Jo berusaha menyelinap ke Tiongkok, memohon bantuan kerabat jauh.

Namun saat kembali ke Korut, ayahnya dibekuk otoritas Korea Utara dan dianiaya hingga tewas.

Tak hanya ayahnya yang jadi korban kebiadaban rezim Korut, Jo mengenang nenek dan adik laki-lakinya yang juga tewas karena kelaparan yang menahun diabaikan pemerintah.

"Setelah ayah tewas, nenekku meninggal karena kelaparan, kemudian dua adik laki-lakiku juga meninggal karena kelaparan," kenang Jo.

Mengenal Ignaz Semmelweis dan Alasan Pentingnya Cuci Tangan Sebelum Lakukan Operasi

Saat hendak melarikan diri bersama ibu dan saudara perempuannya, Jo terpaksa menitipkan adik laki-lakinya yang berusia 5 tahun pada tetangga.

Ia berharap setelah melarikan diri ke Tiongkok, tetangganya dapat mengirimkan sang adik. Namun terlambat, sebab adiknya juga tewas dalam kelaparan.

"Teman ibuku seharusnya mengawasi adik bungsuku namun mereka mengusirnya ke jalan."

Kehilangan keluarga akibat kelaparan tak hanya dialami Jo namun juga sebagian besar masyarakat Korea Utara saat itu -- mungkin juga hari ini.

Kota Terlarang, Mao Zedong, dan Rumah Jutaan Artefak Tiongkok

"Tak hanya keluarga saya yang tewas kelaparan -- ada ratusan keluarga yang kehilangan anggota keluarga mereka sebab hal yang sama," tandas Jo.

Beruntung Jo, saudara perempuannya dan sang ibu berhasil menyelamatkan diri. Setibanya di Tiongkok, mereka mengajukan status pengungsi agar dapat berpindah ke AS dan bermukim disana. Jo dan keluarganya pun menjadi warga negara AS pada 2013.

"Hidup saya benar-benar berubah ketika saya datang ke Amerika Serikat," paparnya.

Kini, Jo dan keluarganya yang tersisa tak lagi merasakan kelaparan. Ia sehat, begitu pula ibu dan saudari perempuannya.

Jo yang dahulu tidak pernah mengemban pendidikan formal, kini bekerja sebagai pengacara sekaligus asisten dokter gigi.

"Kurasa ini yang yang disebut kebebasan untuk hidup, hal yang sangat dibutuhkan saya dan keluarga," tutup Jo. (*)