Halaman rumah yang tampak memprihatinkan itu sepi. Gubuk berukuran 4x3 meter, kondisinya sudah nyaris ambruk.
Atapnya sudah bolong-bolong karena sebagian gentengnya berjatuhan ke tanah. Dinding rumahnya dari anyaman bambu, juga terlihat bolong dari berbagai penjuru. Kondisi itupun membuat rumah tersebut sudah tidak ditempati. Di depan rumah tersebut ada dapur gedek berukuran 3x2. Di atas gentengnya, terlihat ada bekas nasi yang dikeringkan, dengan beralaskan karung plastik. Di dalam dapur, sebuah tungku tanah sudah tertutup debu tebal. Beberapa ekor ayam dan kucing, berkeliaran di dalamnya. Dapur tersebut, hampir tidak ada bedanya dengan kandang hewan ternak. Amur ternyata tinggal di suraunya. Ia tidak bisa mengenali siapa yang datang lantaran kondisi matanya yang sudah rabun. Setiap ada suara di halaman rumahnya, dia menyebut nama Sumairah atau Sulihah. Dua anaknya itu yang paling sering datang mengunjunginya.Ada beberapa tetangga yang merasa iba dengan kondisi Amur, juga datang memberikan makanan sekadarnya.Melihat ada orang datang di rumah ibunya, Sumairah yang tinggal 200 meter datang menghampiri setelah mendengar informasi dari tetangganya.Dia tahu bahwa yang datang membawa sedikit bantuan. Wanita itu kemudian bercerita tentang nasib sang ibu dan keluarganya. Amur hidup tanpa mendapat perhatian dari pemerintah. Sulihah berkata, hidupnya yang miskin, masih terbebani untuk merawat keluarganya sendiri dan ibunya. Sedangkan Sumairah sendiri, sudah janda dan menganggur. Dirinya bekerja serabutan, menjadi kuli tani."Ibu saya kalau lapar sering teriak-teriak minta makan. Kalau kebetulan ada beras, saya memasaknya. Kalau tidak ada beras, saya rebus ketela yang diambil di kebun," terang Sumairah.